Ikuti Kami

Muslimah Talk

Kemelut Isu SARA dan Kebebasan di Tahun Politik

isu sara tahun politik
Sumber: Gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Rasanya masih relevan jika dalam tulisan ini menggunakan contoh kasus di pemilu 2016 DKI Jakarta. Di tahun itu ada gonjang-ganjing yang cukup akbar di mana Basuki Tjahja Purnama atau lebih familiar disebut Ahok disangkakan telah melakukan penodaan terhadap agama Islam karena ucapannya berikut: 

“Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu enggak bisa pilih saya, ya—dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu, lho…”

Ucapan tersebut merupakan potongan video yang diunggah oleh Buni Yani dan menjadi viral. Tetapi belakangan diketahui bahwa Buni Yani telah mengedit video tersebut. Akibatnya, netizen, khususnya umat Islam, merasa tersinggung dan beramai-ramai menghakimi Ahok dengan tuduhan telah melakukan penodaan terhadap agama Islam. Setelah itu, massa dengan spontan menuntut agar Ahok diadili. 

Namun tuntutan tersebut tidak begitu saja dikabulkan oleh kepolisian. Oleh sebab itu, massa kemudian melakukan demonstrasi berjilid-jilid. Demonstrasi ini bermula pada 14 Oktober 2016 dan kemudian berlanjut pada 4 November 2016 (dikenal dengan aksi 411), dan kemudian berlanjut lagi pada 2 Desember 2016 (dikenal dengan aksi 212). Dari semua rentetan aksi tersebut tuntutannya adalah “adili dan penjarakan Ahok”

Meski tuntutan massa adalah mengadili Ahok, Buni Yani—yang mengedit video—juga menjalani proses persidangan. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Bandung menetapkan vonis tersebut pada Selasa, 14 November 2017, yang menyatakan Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 Ayat 1 Undang-undang ITE.

Ketua Majelis pengadilan, Saptono, menyebutkan bahwa terdakwa Buni Yani terbukti melakukan secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Sementara, Ahok divonis dua tahun penjara pada 9 Mei 2017. Putusan Majelis Hakim menilai Ahok melakukan penodaan agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP.

Jika ditelaah, dari contoh kasus di atas, Ahok diadili karena tudingan telah melakukan penodaan agama. Di sisi lain, Buni Yani juga turut diadili lantaran memancing keriuhan di dunia nyata. Maka dari kasus di atas setidaknya dapat menggambarkan bagaimana hukum bekerja untuk keduanya. Tidak hanya Ahok yang diadili, tetapi juga pengedit dan pengunggah videonya.

Dari gambaran kasus di atas juga dapat dilihat bahwa isu SARA dan Kebebasan di tahun politik masih sangat memungkinkan untuk terjadi kembali meski dengan pola yang berbeda. Pasalnya, masyarakat Indonesia yang beragam sangat mudah dipantik menggunakan isu SARA. Selain itu, isu SARA juga masih kerap dijadikan senjata kampanye hitam khususnya di tahun politik. Selain isu SARA, gambaran kasus di atas juga mengandung unsur isu lain, yaitu isu kebebasan, lebih khususnya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Kebebasan Berekspresi.

Baca Juga:  Perempuan Penyandang Disabilitas Mental menjadi Pengacara Hebat di Drama Extraordinary Attorney Woo

Memang, Indonesia bukan satu-satunya negara yang yang masih berkutat dengan persoalan kebebasan. Selain Indonesia, Amerika adalah salah satu negara yang memiliki pekerjaan rumah mengenai ‘kebebasan’. Padahal Amerika adalah negara sekuler yang benar-benar memisahkan agama dan negara. Tetapi hubungan antar kedua entitas ini tetap problematis dan menjadi sumber konflik sosial, kultural, dan politik dalam masyarakat Amerika.

Dengan posisi yang tegas tersebut, untuk mendamaikan semua pihak, Amerika mengambil jalan tengah, disebut dengan solusi “non-sektarian” yang tentu saja banyak ditentang pemuka gereja. Bahkan semakin ditegaskan posisi non-sektarian tersebut semakin kentara “kebangkitan fundamentalisme Kristen dan neo-konservatisme yang agresif.”

Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang tidak pernah menegaskan diri sebagai sebagai negara sekuler, tetapi kerumitan persoalan kebebasan dan isu SARA kurang lebih dapat dikatakan mirip dengan kondisi di Amerika. Perbedaannya, Indonesia tidak pernah mengambil jalan tengah untuk mendamaikan semua pihak, malahan Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara yang berketuhanan. Hal ini jelas disebutkan dalam point pertama Pancasila yang mengakibatkan kekakuan terhadap agama khususnya agama mayoritas melekat kuat. 

Selanjutnya, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, jika diamati lebih jauh menjadi kontradiktif, terlebih jika ia dihadapkan dengan isu SARA. Dari kedua hal tersebut terdapat asumsi bahwa KBB dan kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak dapat berkelindan, pun tidak dapat berjalan bersama. Di satu sisi, setiap individu berhak berpendapat dan berekspresi tanpa diintervensi oleh apapun dan siapapun, tetapi di sisi lain terdapat KBB yang membatasi sampai mana batas seseorang boleh berpendapat dan berekspresi, seputar agama. 

Heiner Bielefeldt memiliki komentar sebagai berikut mengenai KBB dan kebebasan berpendapat dan berekspresi:

“Ketika orang bertanya, “bagaimana bisa memadukan antara KBB dan kebebasan berpendapat dan berekspresi?” secara ringkas pertanyaan tersebut menggambarkan bahwa KBB dan kebebasan berpendapat dan berekspresi saling bertentangan, tidak dapat berjalan seiringan. Pertanyaan tersebut dilatarbelakangi oleh penalaran jika kebebasan berpendapat dan berekspresi memberi peluang untuk dapat berpendapat dan berekspresi secara terbuka, menjamin diskusi yang terbuka dan terus terang, termasuk gaya satire dan karikatur yang mungkin memprovokasi sebagian orang. Sementara KBB berperan sebagai lampu merah bagi provokasi yang bernuansa agama, termasuk di dalamnya karikatur yang bertendensi memancing keributan antar umat beragama.

Dari kutipan di atas, kemudian timbul pertanyaan, apa atau siapa yang dilindungi oleh KBB dan kebebasan berpendapat dan berekspresi? Rapporteur Khusus sebelum Bielefeldt pada tahun 2006 menyatakan bahwa “kebebasan beragama memberi hak pada “setiap orang” untuk bertindak atas nama agamanya, tetapi tidak memberi hak yang melindungi agama tersebut dari berbagai komentar negatif. Keterangan ini sekaligus menjadi klarifikasi penting mengenai relasi antara KBB dan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Memang, kedua hak dasar tersebut seperti berjalan ke arah yang sama walau keduanya secara spesifik memiliki sisi-sisi yang berbeda. Analogi dari kedua hak dasar tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 18 dan 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Baca Juga:  Fatimah Al-Banjari: Ulama Perempuan Pengarang Kitab Parukunan

Dalam rumusan Pasal 18 dan 19 ICCPR secara ketat memberikan hak sepenuhnya bagi forum internum yang merupakan wilayah batin dan pemikiran dan keyakinan manusia. Di wilayah forum internum apapun pikiran masing-masing individu tidak dapat dibatasi jika pikiran dan pendapat tersebut tidak disampaikan di hadapan publik dengan media apapun. Sementara forum externum berperan untuk membatasi manifestasi internum setiap individu ketika pikiran atau ekspresi seseorang tersebut dipublikasikan kepada khalayak.

Maka dari itu, Bielefeldt berpendapat bahwa relasi antara KBB dan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi sangat erat dan saling terhubung baik dalam semangat maupun formulasinya. Bielefeldt juga menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak dan perlindungan yang ditujukan kepada individu, bukan kepada agama atau sistem keagamaan.

Lalu, The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan ICCPR sebagai deklarasi dan instrumen HAM internasional, memandatkan negara-negara yang hadir dan setuju terhadap UDHR dan ICCPR meratifikasi kovenan tersebut ke dalam konstitusi lokal masing-masing negaranya. 

Dalam konteks Indonesia, UDHR sudah diratifikasi dalam Pasal 28A-J dan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang lain seperti Undang-undang No. 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Selain itu regulasi lain yang sudah diratifikasi seperti Undang-undang HAM No. 39/1999, dan Undang-undang. No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Meskipun, dalam The Universal Declaration of Human Rights setiap individu memiliki hak dasar ‘kebebasan’ namun kebebasan tersebut tidak mutlak. Pendapat lain datang dari akademisi Indonesia, Zainal Abidin Bagir, ia berpendapat bahwa HAM merupakan instrumen internasional yang melindungi dua hal, yaitu forum internum dan externum. Namun, hal yang harus dipahami dengan baik adalah kebebasan tersebut dapat dibatasi. Salah satu hal yang dapat menjadi alasan dan juga diatur secara legal mengenai pembatasan kebebasan adalah mengenai public order (ketertiban umum).

Selain meratifikasi UDHR dan ICCPR, perihal KBB dan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi juga diperkuat dengan Rencana Aksi Rabat (kemudian disebut Rabat Plan of Action). Rencana aksi tersebut merupakan hasil pertemuan kerja regional oleh office Nation of the united Nation High Commissioner for Human Rights (OHCHR) pada tahun 2011 dan 2012. Pertemuan Rabat melibatkan para ahli dari berbagai negara, organisasi-organisasi masyarakat sipil, perwakilan pemerintah, serta organisasi internasional dan regional lainnya yang khusus membahas mengenai larangan menampilkan ketidakhormatan terhadap agama atau sistem agama lain.

Baca Juga:  Sulitnya Pengesahan RUU PKS, Payung Hukum Kasus Kekerasan Seksual

Dalam komentar umum (General Comment) No. 34 (2011) tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Komite HAM menekankan bahwa:

“Larangan menampilkan kurangnya rasa hormat terhadap agama atau sistem kepercayaan lainnya.” termasuk Undang-Undang Penistaan Agama, tidak sesuai dengan Kovenan, kecuali dalam keadaan khusus yang dijelaskan dalam Pasal 20, paragraf 2 kovenan. Larangan tersebut juga harus mematuhi persyaratan ketat Pasal 19, paragraf 3, serta Pasal-Pasal seperti 2, 5, 17, 18, dan 26 ICCPR.

Sementara dalam Rabat Plan of Action, memuat mengenai pelarangan menunjukkan rasa kurang hormat terhadap satu agama atau satu sistem kepercayaan berwujud dalam ujaran kebencian (hate speech), penodaan agama di ruang maya (digisphere) seperti platform Facebook, Telegram, dan Youtube.

Lantas, bagaimana seharusnya menyikapi kasus yang menimpa Ahok? 

Di satu sisi, ada UDHR sebagai bingkai besar hak-hak dasar manusia, kemudian hak dan kebebasan tersebut dikerucutkan oleh ICCPR, lebih jauh lagi dikerucutkan kembali oleh Rabat Plan of Action dan General Comment No. 34. 

Singkatnya, Rabat Plan of Action adalah salah satu landasan bagi negara-negara pihak dan bersepakat untuk tidak menunjukkan rasa kurang hormat terhadap satu agama atau satu sistem kepercayaan dan memandang bahwa Undang-Undang Penodaan Agama tidak sesuai dengan kovenan internasional. Sehingga artinya, pasal penodaan agama yang dimiliki oleh konstitusi Indonesia dinilai mengancam KBB dan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. 

Lebih jauh lagi, isu SARA dan Kebebasan saat memasukin tahun politik kerap kali dikaitkan dengan isu penodaan agama dan dengan mudahnya menggunakan pasal penodaan agama untuk membungkam kebebasan berekspresi. Hal ini menyebabkan timbulnya kesewenang-wenangan dan menganggap segala yang berkaitan dengan isu SARA selalu berkelindan dengan penodaan agama. 

Meski demikian, manusia yang mempercayai agama tidak dibenarkan untuk menampilkan kebencian terhadap satu agama atau sistem kepercayaan yang lain. Hal ini adalah bentuk penghormatan kepada agama atau sistem kepercayaan lain. Dengan demikian KBB, Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat dapat berjalan seiringan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk secara kelompok keagamaan dan keragaman lainnya.

Rekomendasi

rasisme rasisme

Rasisme dan Bahayanya Bagi Manusia

Ditulis oleh

Bukan ustadzah, pembaca diskursus feminisme Islam, mistisime dalam Islam, dan diskursus sosial lainnya, serta sedang berusaha menyukai dunia penelitian sosial.

Komentari

Komentari

Terbaru

Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Surah al-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Muslimah Daily

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Ibadah

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect