BincangMuslimah.Com – Selasa, 12 April 2022 adalah hari bersejarah bagi perempuan dan segenap elemen yang mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). UU TPKS yang telah sah ini akan menjadi jawaban atas penantian para korban dan penyintas, maka jelas ini patut dirayakan.
Perjalanan RUU TPKS sudah dimulai penyusunanya sejak Maret 2016. Kemudian masuk dalam RUU prolegnas tahun 2017, 2020, dan 2021. Kendati di 2019 pembahasanya belum sampai pada pengambilan keputusan, RUU TPKS disetujui sebagai inisiatif DPR tahun 2022.
UU ini menjadi payung hukum yang jelas bagi kasus-kasus kekerasan seksual yang belum masuk dalam aturan manapun. Selain itu, UU lahir sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, dan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin tidak terulangnya kekerasan seksual.
Tulisan ini akan membahas mengapa UU ini begitu penting dan sangat progresif. Seperti yang disebutkan di atas, UU ini memiliki tujuan yang mulia, tidak hanya menghukum pelaku tapi juga pemulihan terhadap korban.
UU ini memiliki 93 pasal dan 12 bab yang setidaknya mencakup:
- ketentuan umum;
- jenis tindak pidana kekerasan seksual;
- tindak pidana lain yang erkaitan dengan kekerasan sekual;
- hukum acara;
- hak koban, keluarga korban, dan saksi;
- penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk anak dan perempuan di pusat dan daerah;
- pencegahan, koordinasi, dan pemantauan;
- partisipasi masyarakat dan keluarga;
- pendanaan;
- kerja sama internasional;
- ketentuan peralihan dan penutup.
Mari kita bahas perlahan. Terdapat 9 jenis kekerasan perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual. Pelecehan seksual baik fisik dan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi sosial, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Definisi ini patut diapresiasi. Pelecehan seksual nonfisik memungkin tindakan catcalling bisa dilaporkan. Pun kekerasan gender berbasis online (KGBO), pasal 14 melarang orang untuk melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar, serta mentransmisikan video, atau tangkapan layar bermuatan seksual tanpa izin.
Melakukan pelacakan atau stalking menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek untuk tujuan seksual juga dilarang. Negara juga berkewajiban untuk menghapus dokumen/video korban KBGO.
Dengan berlakunya UU ini yang memberikan definisi kekerasan seksual yang progresif maka seharusnya memudahkan korban dalam pelaporan kasus.
Terlebih lagi, UU ini juga mengatur tentang hukum acaranya. Dimulai dari penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan, hingga pengaturan alat bukti. Hukum acara ini memberikan jaminan terlindunginya hak korban dan pelaku.
Kemudian, Pasal 22, korban mendapatkan hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hak-hak tersebut harus dilakukan oleh negara melalui berbagai unit layanan.
Hak korban atas penanganan meliputi:
- hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil Penanganan, perlindungan, dan pemulihan;
- hak mendapatkan dokumen hasil Penanganan;
- hak atas Pendampingan dan bantuan hukum;
- hak atas penguatan psikologis;
- hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis;
- hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
Selain itu, korban, keluarga korban, dan saksi berhak mendapatkan fasilitas perlindungan. Seperti:
- tidak boleh dilaporkan balik atas tuntutan apapun (baik pidana dan perdata) yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang ia laporkan;
- perlindungan atas kerahasiaan identitas;
- perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan atau menguatkan stigma terhadap korban;
- perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik.
Hak korban atas pemulihan berupa:
- rehabilitasi medis;
- Rehabilitasi mental dan sosial;
- Pemberdayaan sosial;
- Restitusi dan/atau kompensasi dan reintegrasi sosial.
Hak atas pemulihan ini diberikan selama proses peradilan berlangsung. korban berhak atas pelayanan kesehatan, psikologis, pendampingan hukum, akses bantuan untuk disabilitas. Selain itu kebijakan restitusi ini memungkin untuk korban dan keluarga korban mendapatkan biaya transportasi, rumah aman, hingga konsumsi dan biaya hidup yang layak.
Mari kita rayakan UU ini dengan suka cita, UU ini harus disosialisasikan ke berbagai elemen. Terutama bagi penegak hukum, keluarga, lingkungan belajar baik sekolah, pesantren dan kampus. Semakin banyak yang mengetahui substansi UU ini maka akan semakin baik implementasinya.
Tetap kawal dengan baik implementasi serta aturan turunannya nanti. Selain itu kita harus ikut berpartisipasi dalam upaya Komnas Perempuan yang terus mendorong DPR untuk memasukan tindakan pemaksaan aborsi dan pengaturan perkosaan dalam revisi Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP).