BincangMuslimah.Com – Filsafat kerap diidentikkan dengan bidang “milik” laki-laki. Padahal, bila kita mencari di Google dengan kata kunci “filsuf perempuan”, setidak-tidaknya kita akan menemukan 36 filsuf perempuan paling berpengaruh dari seluruh penjuru dunia dengan berbagai macam latar belakang pemikiran.
Mulai dari Hypatia, filsuf perempuan asal Mesir yang lahir pada 360 SM, sampai Rosi Braidotti, pemikir Italia yang kini berusia 68 tahun. Hypatia fokus pada filsafat neoplatonisme, ilmu astronomi, dan matematika. Sementara Rossi menekuni tema-tema filsafat Barat, termasuk materialisme, spinozism, dan feminisme postmodern.
Dari Indonesia, Google mencatat Gadis Arivia. Gadis dikenal sebagai aktivis perempuan, doktor filsafat, dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan. Ia menekuni studi feminisme dan filsafat kontemporer serta rutin menulis wacana-wacana feminisme di berbagai media, jurnal, dan buletin, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Filsafat untuk Perempuan
Kita pasti pernah tahu, entah mendengar dari orang lain atau mendengarnya langsung dengan telinga sendiri, ada tuduhan-tuduhan tak beralasan yang memojokkan perempuan penggiat filsafat. Beberapa di antaranya:
“Perempuan tidak perlu susah-susah berpikir tentang filsafat. Cukup fokus pada ilmu keguruan atau kesehatan saja.”
“Buat apa perempuan menggeluti filsafat? Toh akhirnya, pasti mentok ke feminisme. Apa pun disiplin keilmuannya.”
“Filsafat bukan untuk perempuan yang berakal pendek. Filsafat hanya cocok untuk laki-laki yang berakal panjang.”
Beberapa profesi memang dianggap “laki banget” dan tidak cocok untuk perempuan. Perempuan dianggap cukup menjalani profesi yang “baik-baik” saja. Misalkan: guru, tenaga teknis kesehatan (bidan, perawat, apoteker, dll), sekretaris, bendahara, dan lain-lain.
Mari kita tengok satu perempuan dengan profesi yang dianggap kurang umum. Ada Moorissa Tjokro, seorang perempuan kebangsaan Indonesia yang menjadi Autopilot Software Engineer di Tesla. Moorisaa nampak “baik-baik” saja menjalani profesi tersebut. Yang tidak baik-baik saja adalah stigma yang melekat pada dirinya.
Perempuan hanya tak mendapat kesempatan. Saat memilih berlari, perempuan diminta berjalan. Saat akan meloncat, perempuan diminta berjongkok. Saat ingin menentukan hidupnya sendiri, perempuan diharuskan tunduk pada dominasi. Hal-hal itu akan terus terjadi selama kesempatan perempuan masih dibatasi.
Dalam Islam, filsafat mendapat tempat istimewa. Al-Kindi, filsuf yang masyhur sebagai the philosopher of the Arabs, berhasil membebaskan diri dari tradisi Arab yang jumud. Hal tersebut disampaikan oleh Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (2002).
Kontribusi besar yang telah dilakukan oleh Al-Kindi adalah menyelaraskan filsafat dan agama. Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat adalah untuk menemukan hakikat sejati benda-benda yang ada di dunia melalui penjelasan-penjelasan kausal.
Maksud dari penjelasan kausal yang alamiah adalah untuk mencari kebenaran tentang alam sementara, “filsafat pertama” atau metafisika yang berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi yakni Tuhan Semesta Alam, Allah Swt.
Al-Kindi berjasa dalam mempertemukan agama (Islam) dengan filsafat. Dasar pertimbangannya, filsafat adalah ilmu tentang kebenaran dan agama pun merupakan ilmu tentang kebenaran pula. Oleh sebab itu, tidak ada perbedaan antara keduanya.
Islam tidak menolak filsafat dan membuka peluang baik perempuan maupun laki-laki untuk menjadi filsuf. Keduanya mampu menjadi seorang filsuf apabila mumpuni dan kredibel.
Eksistensi perempuan dalam filsafat Islam tidak dibedakan dengan laki-laki. Perempuan justru disetarakan dan dipandang memiliki kemampuan intelektual, bukan dipandang dari jenis kelaminnya.
Perempuan dan Posthumanisme
Posthumanisme adalah kerangka teoritis sekaligus kerangka empiris yang berlaku untuk bidang apa pun, mulai dari manusia sebagai spesies, hingga pandangan individu.
Dalam posthumanisme, ada berbagai macam cabang. Ada critical posthumanism, cultural posthumanism, philosophical posthumanism, dan lain-lain. Titik fokus tulisan ini adalah philosophical posthumanism.
Francesca Ferrando, seorang filsuf perempuan yang mengajar di New York University, dalam esainya yang berjudul Posthumanism (2014), mencatat ada tiga pertanyaan yang mengharuskan manusia menjadi post-human.
Posthumanisme menjawab pertanyaan seperti “siapa saya?” yang setara dengan pertanyaan terkait lainnya, seperti: “apa saya?” dan “di mana dan kapan kita berada?”.
Tiga pertanyaan tersebut adalah aspek eksistensial yang tidak lepas dari elemen politik dan spatiotemporal. Kesadaran manusia menghasilkan pertimbangan pragmatis. Pada abad ke-21, ada dampak dari kebiasaan antroposentris di bumi yang sangat besar. Para ahli geologi menyebut dampak tersebut sebagai Antroposen.
Antroposen adalah masa yang bermula saat aktivitas manusia memengaruhi ekosistem global secara serius. Istilah Antroposen sudah digunakan oleh ilmuwan di Uni Soviet sejak awal 1960-an.
Dahulu, manusia tidak diakui sebagai agen penyebab langsung perubahan iklim. Saat ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa kehancuran bumi adalah ulah manusia. Sampah non-daur ulang dihasilkan setiap hari, emisi rumah kaca mengganggu atmosfer, dan tingkat polusi merusak lingkungan.
Karena semuanya terhubung, maka keseimbangan yang rusak juga secara langsung mempengaruhi kesejahteraan manusia. Sebagai misal, bisa terlihat dalam kasus penyakit kanker yang meningkat karena pemanasan global.
Humanisme sudah tidak membantu manusia untuk mengubah arah hidup. Posthumanisme, di sisi lain, bisa menjadi titik balik dengan membawa manusia pada diskusi tentang gagasan penting seperti spesiesisme, keterlibatan instansi non-manusia, dan lain sebagainya.
Spesiesisme adalah pemberian nilai, hak atau pertimbangan khusus terhadap individu yang didasarkan pada spesies masing-masing. Sementara, maksud dari keterlibatan instansi non-manusia adalah seperti robot dan aritifial intelligence, termasuk machine learning.
Titik balik umat manusia yang melibatkan non-manusia, sedikit banyaknya, memengaruhi eksistensi perempuan. Donna J. Haraway sudah mewanti-wanti hal ini dengan menerbitkan buku berjudul Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention (1991).
Dalam buku tersebut, ada bagian berjudul A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Social-Feminism in the Late Twentieth Century yang terkenal karena mempertanyakan kesiapan perempuan menerima teknologi sebagai teman intimnya. Sebuah pertanyaan yang sangat relevan untuk perempuan yang hidup di abad ke-21.
Saat ini, perempuan tak bisa dipisahkan dari ponsel, komputer dan dunia siber. Para perempuan, terutama di kota-kota besar, sudah menganggap teknologi sebagai kebutuhan primer.
Melalui internet misalnya, perempuan bisa memanfaatkan media sosial untuk jaringan kerja, aktivisme, dan mendapat dukungan dari banyak orang. Kondisi tersebut belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Pada intinya, pernyataan Manifesto Cyborg Feminis adalah manusia bersama-sama menyongsong masa depannya. Masa depan di mana perempuan tidak akan terisolasi lagi, tetapi memiliki akses dan menglobal. Saling berhubungan dan merajut satu sama lain untuk pencerahan dan kesetaraan.
Humanisme ke Posthumanisme
Penghormatan Islam terhadap filsafat, relevansi posthumanisme, dan lahirnya Manifesto Cyborg Feminis menciptakan satu realitas baru. Karena itu, menganggap perempuan tak perlu menggeluti filsafat adalah cara berpikir yang keliru.
Perempuan, filsafat, dan posthumanisme adalah tiga hal yang saling berkait-kelindan. Ketiganya berkesinambungan mengantarkan manusia pada titik balik kemanusiaannya, dari humanisme menuju posthumanisme.
Lantas, bagaimana cara untuk menyelaraskan ketiganya? Perlu tulisan-tulisan lain untuk menjawab pertanyaan tersebut.
2 Comments