BincangMuslimah.Com – Hubungan intim sejatinya bukan hanya untuk kepuasan batin suami namun juga istri. Dalam sebuah rumah tangga, hubungan intim yang sehat tanpa keterpaksaan akan mendorong terciptanya sebuah hubungan rumah tangga yang intim dan hangat.
Namun dalam beberapa kasus, terkadang istri hanya dijadikan pihak yang harus melayani dan suami yang dilayani. Sehingga istri tidak berhak menolak jika suami mengajaknya berhubungan intim. Hal ini juga karena banyak lelaki yang menjadikan sebuah hadis yang mengatakan bahwa malaikat akan melaknat istri yang menolak ajakan suami sebagai legitimasi. Hadisnya sebagai berikut,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
Artinya: Jika seorang laki-laki mengajak istrinya (berhubungan intim) maka sang istri harus mendatanginya sekalipun sedang berada dapur (HR. Tirmidzi)
Menurut al-Syaukani dalam kitab Nailul Authar, mengajak istri dalam hadis ini memiliki arti konotatif (kinayah) yang bermakna mengajak berhubungan intim. Menurut hadis ini, seorang istri diharuskan untuk memenuhi ajakan hubungan intim dari suaminya walaupun di tengah ajakan tersebut ia sedang sibuk melakukan sesuatu.
Contohnya saat istri sedang memasak di dapur. Daripada menunggu masakan matang, sang istri lebih dianjurkan untuk memenuhi panggilan sang suami dan melayaninya. Hal ini karena suami istri harus menjaga satu sama lain, agar tidak terjatuh pada zina dan agar menyalurkan hasrat biologis pada pasangan yang sah. Kira-kira demikian makna hadis di atas.
Lalu dalam hadis lain diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هريرة قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجئ لعنتها الملائكة حتى تصبح
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika seorang laki-laki memanggil istrinya ke pembaringannya, dan perempuan itu menolak untuk datang maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR Bukhari)
Bagaimana seharusnya memahami hadis ini? Apakah malaikat benar-benar melaknat istri yang menolak ajakan suami?
Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, menjelaskan dalam riwayat al-‘Amasy terdapat tambahan lafal hatta baata ghadhbaanan, hingga sang suami tidur dengan perasaan kecewa marah. Hal inilah yang menjadi sebab laknat malaikat atas sang istri. Ini dimaksudkan bagi istri yang menolak ajakan suami tanpa sebab atau udzur yang jelas. Ibnu Hajar juga mengaitkan ‘laknat’ dalam hadis di atas dengan hadis lain riwayat hakim, bahwa terdapat dua hal yang mengundang marah Allah, salah satunya istri yang bermaksiat kepada suaminya hingga ia kembali taat.
Lalu jika terdapat sebab yang dapat dimaklumi, apakah boleh istri menolak ajakan hubungan intim dari suami? benarkah seorang istri benar-benar harus selalu siap sedia melayani suami bagaimanapun keadaannya, bagaimana jika istri sedang sakit?
Setelah menyebutkan hadis di atas dalam kitabnya, Imam Tirmidzi menyebut hadis lain yang menjelaskan bahwa suami harus memperlakukan istri dengan baik. Rasulullah bersabda
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أكمل المؤمنين إيماناً أحسنهم خلقاً، وخياركم خياركم لنسائهم
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ” Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik kepada perempuannya.” (HR. Tirmidzi)
Al-Mubarakfury dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi menjelaskan, seseorang yang memiliki iman yang sempurna akan memiliki akhlak yang baik dan kebaikannya akan memancar kepada seluruh manusia. Dan bukti pertama baiknya budi pekerti tersebut terlihat dari bagaimana ia memperlakukan perempuannya.
Rasulullah pun dengan lantang mempertegas perkataannya dalam riwayatnya lain yang diriwayatkan Abu Dawud, beliau bersabda, “ yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan Aku yang paling baik dari kalian kepada keluargaku.”
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 19
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“..dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri kalian) secara patut.” (QS. An-Nisa; 19)
Kata ma’ruf berarti perlakukan dengan baik dan patut. Maka sejatinya sikap terbaik suami pada istri adalah memperlakukan mereka dengan lemah lembut. Memaksa berhubungan intim sedangkan ia tahu bahwa sang istri sedang sakit merupakan hal yang bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah, di mana beliau juga bersabda, “Janganlah melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan,”.
Maka sebagai suami yang shaleh dan baik, jangan memaksakan hasrat biologis tanpa melihat keadaan istri, apalagi sampai membahayakan nyawa istri. Berdasarkan penjelasan di atas jika suami mengajak berhubungan intim, sedangkan sang istri sedang sakit dan lemah, ia diperbolehkan menolak sang suami.
Menurut Nur Rofiah, dosen Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ), menyakiti perempuan di sini juga termasuk jika hanya suami yang terpuaskan dengan hubungan intim yang dilakukan, sedang istri tidak. Sehingga yang terasa hanya rasa sakit bukannya nikmat. Demikan penjelasan aktifis perempuan tersebut saat menjelaskan tentang pilar rumah tangga dalam salah satu sesi Kajian Rumahan.
Termasuk dalam kasus ini, mengajak istri berhubungan intim sedangkan sang istri masih dalam masa pemulihan setelah melahirkan. Allah menggambarkan bahwa keadaan perempuan yang melahirkan adalah sakit di atas sakit, wahnan ‘ala wahnin. Maka suami yang memiliki pengertian, tentu tidak akan memaksa berhubungan intim istrinya. Karena itulah dalam Islam, jika sang istri masih dalam masa nifas, sebagaimana haid, suami tidak diperkenankan menggauli istrinya. Sang suami dilarang selalu memaksa istri dengan dalih bahwa malaikat akan melaknat istri yang menolak ajakan suaminya untuk berhubungan badan.
Demikianlah pentingnya memahami nash-nash agama secara utuh, tidak hanya mengandalkan satu riwayat lalu menisbatkannya pada semua keadaan. Sebab dalam memahami literatur Islam, ada yang namanya metode memahami ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, dan hadis dengan hadis. Hal ini agar seseorang muslim dapat memahami ajaran Islam secara konperhensif, sehingga sampai pada pemahaman yang sesuai tujuan syariat islam. Wallahu’alam.