BincangMuslimah.Com– Dalam kebudayaan tradisional, seringkali memdandang perempuan sebagai pelayan atau pemuas kebutuhan laki-laki. Bahkan menganggap perempuan sebagai komoditas perdagangan. Pada masa pra-Islam, dapat memperjualbelikan perempuan dan sepenuhnya berada di bawah kendali suami, tanpa hak-hak sipil atau hak waris. Dalam peradaban Yunani, memandang perempuan sebagai objek seni yang bernilai tinggi.
Di masa Romawi, berkembanglah sistem patriarki di mana kekuasaan terpusat pada ayah dan suami. Suami memiliki hak untuk menjual, mengusir, menyiksa, bahkan membunuh istrinya. Dalam tradisi Hinduisme, menganggap seorang perempuan kehilangan hak hidupnya ketika suaminya meninggal dunia, yang memunculkan praktik pembakaran hidup-hidup istri bersamaan dengan mayat suaminya, sebuah ritual yang pernah terjadi di Bali. Sedangkan dalam tradisi Yahudi menganggap perempuan sebagai sumber kutukan dan penyebab pengusiran Adam dari surga. Pandangan ini juga terdapat dalam ajaran Kristen, yang menganggap perempuan sebagai alat iblis untuk menyesatkan umat manusia.
Pandangan tersebut terus berlanjut hingga era modern, saat gerakan emansipasi perempuan muncul di dunia Barat. Gerakan ini berjuang untuk kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, dan pengaruhnya pun merambah dunia Islam. Di sini, muncul perdebatan di kalangan ulama mengenai posisi perempuan. Beberapa ulama mempertahankan pandangan tradisional yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki, sementara yang lainnya mendukung kesetaraan, terutama dalam hal hak-hak sipil.
Dalam konteks budaya, meskipun ada kemajuan, posisi perempuan dalam masyarakat Islam masih sering terpinggirkan. Di beberapa negara, perempuan masih barada di posisi harem, terkekang dalam batasan tembok istana.
Perspektif Filsafat Islam tentang Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki
Dalam perspektif filsafat Islam, menegaskan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan kemampuan intelektual, bukan sekadar perbedaan jenis kelamin. Al-Farabi (670-950 M) menegaskan bahwa penentuan kualitas sebuah puisi bukan oleh siapa yang menyampaikannya. Apakah laki-laki atau Perempuan, melainkan oleh keindahan susunan dan isinya. Ia juga menekankan bahwa pemimpin negara harus memiliki kualitas intelektual dan moral yang tinggi, tanpa memandang jenis kelamin. (Sumber: A.J.Arberry, “Farabi’s Canons on Poetry” sebagaian dikutip Ralph Lerner untuk catatan kaki dalam Averroeson Platos Republic, (London:Corbell University Press, 1976)
Ibnu Rusyd (1126-1198 M), seorang komentator terkenal dari karya-karya Aristoteles, juga menegaskan bahwa perempuan bukan hanya pandai dalam berdandan, tetapi juga memiliki kemampuan intelektual dan berbicara yang memadai. Namun demikian, dalam masalah fiqih, seperti imamah shalat atau jabatan hakim, Ibnu Rusyd cenderung berhati-hati. Meski demikian, ada pandangan lai, seperti ungkapan Al-Thabari (836-922 M), yang memperbolehkan perempuan untuk menjabat posisi tersebut. (Sumber: Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, I (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
Pandangan yang serupa juga terdapat dalam pemikiran Ibn Sina (980–1037 M), yang berpendapat bahwa penilaian terhadap perempuan dan laki-laki seharusnya didasarkan pada kemampuan intelektual dan spiritual mereka, bukan pada jenis kelamin. (Lihat: M. Kamil, Ibn Sina: Hayatuh Atsaruh wa Falsafatuh, (Beirut Dar al-Ilmiyyah, 1991)
Perspektif Tasawuf tentang Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan
Dalam pandangan Tasawuf (spiritualitas Islam), hubungan antara laki-laki dan perempuan dianggap setara dan adil. Ajaran utama Tasawuf adalah pembersihan hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, yang memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan untuk mencapai kedekatan dengan-Nya, tanpa memandang jenis kelamin. Konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud) dan wahdat al-adyan (kesatuan agama) yang dijelaskan oleh Ibn Arabi menegaskan bahwa Tuhan, alam semesta, dan agama-agama bersatu, sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. (Lebih rinci, lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995)
Ibn Arabi juga menegaskan bahwa perempuan bukanlah sumber maksiat, melainkan sarana untuk mencapai Tuhan. Cinta antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol kerinduan manusia kepada Tuhan. Sebuah hadits menyebutkan bahwa Nabi sangat menyukai tiga hal: perempuan, parfum, dan shalat.
Dalam tasawuf, tidak ada perbedaan strata antara laki-laki dan perempuan, baik dalam teori maupun praktik sehari-hari. Laki-laki dan perempuan sufi sering berinteraksi, berdiskusi tentang spiritualitas, dan mengikuti kegiatan zikir bersama. Bahkan, perempuan sufi juga mengadakan majlis zikir yang dihadiri oleh laki-laki.
Kisah Fathimah, istri Ahmad ibn Khazruya, yang berdiskusi dengan Abu Yazid al-Busthami tanpa mengenakan kerudung atau menutupi tangannya, menggambarkan kebebasan dalam pergaulan sufi. Meski demikian, interaksi semacam ini sering mendapat kritik dan tuduhan tidak pantas, meskipun tujuan mereka murni untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. (Fariduddin Attar, Warisan Auliyah, (Bandung: Pustaka, 1994).
Dalam Tradisi Pemikiran Filsafat Islam
Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki, tapi justru menyetarakan, sepanjang ia mempunyai kemampuan lebih. Stressingnya adalah kemampuan intelektual dan bukan jenis kelamin. Sementara itu, dalam perspektif Tasawuf (spiritualitas
Islam), relasi laki-laki perempuan juga tampak adil dan setara. Ajaran utama tasawuf adalah kebersihan hati dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan. Persoalan utamanya adalah bagaimana mencapai Tuhan sedekat-dekatnya dan semakin merindukan dan mencintai Dia.
Untuk mencapai tingkat tersbut tidak ada syarat harus laki-laki, karena masing-masing orang, laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama. Oleh karena itu, pemikiran yang bias gender, lebih banyak tidak semuanya terdapat dalam hukum (fiqih) dan tafsir yang berkaitan dengan hukum. Sementara itu, dalam kajian filsafat dan tasawuf yang tidak banyak bersentuhan dengan kepentingan penguasa, tampak lebih murni dan bebas dari bias gender. Inilah mestinya yang patut disosialisasikan.
3 Comments