BincangMuslimah.Com- Sebagaimana hubungan pada umumnya, tidak jarang pertemanan bisa merenggang atau bahkan terputus di tengah jalan. Hal ini sering terjadi karena berbagai faktor. Sebagian besar alasan tersebut disebabkan oleh hubungan yang kurang sehat atau dikenal dengan istilah toxic friendship.
Berkaitan dengan toxic relationship, belakangan ini muncul istilah cut off yang digunakan untuk mempresentasikan membatasi atau berhenti berhubungan dekat atau bersahabat karena merasa dirugikan secara emosional atau mental. Lalu apakah cut off sama dengan memutus silaturrahmi?
Seperti yang kita tahu, konsekuensi dari memutus tali silaturrahim dalam ajaran Islam tidak main-main. Rasulullah bahkan telah memperingatkan dalam salah satu hadis:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Seseorang yang memutus (silaturrahim) tidak akan masuk surga.” (HR. Imam Bukhari)
Perihal Silaturahim yang Wajib
Dalam memahami persoalan ini, kita harus memahami dahulu perihal yang dikehendaki syariat mengenai silaturahim. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqati al-Arham hlm. 13, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan putus silaturahim yang diharamkan adalah memutuskan hubungan persaudaraan yang paling wajib dibina, yaitu dengan orang-orang yang termasuk kategori mahram (orang yang haram dinikahi), antara lain saudara kandung, ayah, ibu, kakek, nenek dan terus ke atas, serta paman dan bibi.
Meskipun begitu, Hadratussyekh juga tetap menganjurkan untuk menjaga silaturrahim dengan siapa saja, termasuk kepada saudara yang bukan mahram dan teman yang tidak memiliki ikatan kekerabatan.
Tuntunan Menghadapi Pertemanan Toxic
Adapun dalam sudut pandang agama, menjauhi pertemanan yang buruk diperbolehkan. Sebagaimana dalam surah al-Maidah ayat 51, Allah mengingatkan kita untuk tidak menjadikan orang-orang yang kafir sebagai teman dekat.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu/kawan akrabmu.” (Q.S. al-Maidah: 51)
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat ini tentang larangan orang-orang mukmin menjadikan ‘orang-orang kafir’ sebagai awliya mereka. Maksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus, dan merahasiakan kecintaan, serta membuka rahasia kepada mereka.
Secara kontekstual ayat ini menunjukkan pentingnya memilih teman yang sejalan dengan nilai-nilai Islam (kebaikan). Di samping itu, ayat di atas juga memerintahkan untuk menjauhi teman-teman kafir (buruk) yang memiliki sifat tercela, dan suka membuat makar, serta mempengaruhi orang lain kepada keburukan serupa.
Menjaga Hubungan Pertemanan
Belum lama ini, penulis mendengarkan nasehat dari Habib Muhsin Idrus al-Hamid berkaitan dengan hal tersebut. Bahwa sebaiknya kita sebagai seorang muslim senantiasa berikhtiar sebisa mungkin untuk menjaga hubungan pertemanan.
Beliau menukil perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, ketika kita merasa tidak sesuai satu sama lain atau kita kurang suka dengan dengan satu orang. Kita harus berupaya untuk memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu, agar orang tersebut juga merubah diri. Namun, kalau ternyata dia belum juga berubah, maka maafkan dan tinggalkan. Kita menjauh bukan berarti memutus silaturrahim, namun kita menjaga diri kita agar tidak punya kebencian, juga untuk menjaga kesehatan mental kita.
Imam al-Mawardi dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 166, juga menyatakan bahwa cut off pertemanan toxic merupakan opsi paling baik dibanding terus berteman dalam keadaan menyesal. Dengan mengutip ahli sastra beliau berkata,
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: مُصَارَمَةٌ قَبْلَ اخْتِبَارٍ، أَفْضَلُ مِنْ مُؤَاخَاةٍ عَلَى اغْتِرَارٍ
Para ahli sastra berkata, “Memutus suatu hubungan pertemanan sebelum menguji (kesetiaan) lebih baik daripada pertemanan berdasarkan kepercayaan yang keliru (kekecewaan).”
Walhasil, memutus dari lingkungan pertemanan yang toxic merupakan tindakan yang sejalan dengan ajaran Islam, mengingat setiap hubungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku individu. Jika seseorang terus terlibat dalam lingkaran pertemanan yang berpotensi merusak, hal ini justru bisa membawa mudharat yang justru masuk dalam larangan agama. Wallah Muwaffiq.[]
Rekomendasi
