BincangMuslimah.Com – Kita mungkin terheran-heran saat membaca kisah-kisah ulama terdahulu yang memiliki hafalan begitu kuat. Bahkan rata-rata, di umur yang masih anak-anak mereka telah menyelesaikan hafalan Alqurannya. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apa rahasia dibalik hafalan kuat mereka? Dan mengapa hafalan kuat tersebut sulit untuk kita tiru?
Tulisan ini akan mengulas beberapa hal yang menjadi faktor kuatnya hafalan para ulama terdahulu. Hingga kiranya kita bisa menimbang hal-hal apa saja yang membuat hafalan kita cukup sulit. Mari kita menengok kondisi bangsa Arab 16 abad yang lalu sebelum kedatangan Islam.
Bangsa Arab hidup di tengah dataran gurun pasir yang teramat panas di musim panas dan teramat dingin di musim dingin. Untuk bisa memenuhi kehidupan sehari-hari mereka harus bekerja sangat keras di tengah cuaca yang berat. Dari kondisi tersebut, terbentuklah watak bangsa Arab yang pekerja keras dan sangat gigih untuk bisa mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Pun salah satu tradisi yang sangat melekat bagi bangsa Arab adalah tradisi bersyair. Hingga kecakapan dan kemasyuran seseorang ditentukan oleh seberapa bagus syair yang dibuat. Oleh karenanya, mereka berlomba-lomba untuk dapat membuat syair yang berkualitas.
Tentu, hal tersebut bukan hal yang mudah bagi mereka, sebab saat itu tradisi tulis-menulis belum masif. Sehingga untuk bisa belajar membuat syair dari penyair terdahulu, mereka terpaksa harus menghafal. Dengan tabiat kegigihan dan tekad kuat yang mereka miliki, sekalipun sulit, menghafal bukanlah hal yang mustahil bagi mereka. Begitupun demi menyebarkan syairnya, mereka setiap hari membacakannya di tengah-tengah tempat umum untuk bisa dikenal syairnya oleh masyarakat, seperti pasar. Pada akhirnya seluruh proses transfer pengetahuan bangsa Arab dilakukan dengan menghafal.
Bagi mereka, seberapa banyak dan kuat hafalan seseorang menentukan derajat kehormatan seseorang tersebut. Sehingga tiap-tiap orang bangsa Arab sangat membanggakan hafalan yang mereka miliki. Bahkan dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa salah satu alasan mereka enggan menulis adalah sebab kekhawatiran mereka disibukkan oleh menulis dan akhirnya mengesampingkan tradisi menghafal. Rupanya, menghafal sudah menjadi makanan sehari-hari mereka.
Disebutkan dalam kitab al-Hadharah al-Islamiyah oleh Ahmad Zaki, bahwa saking disibukkannya bangsa Arab dengan menghafal, mereka sampai tidak punya cukup waktu untuk menghias diri. Sehingga, pakaian yang mereka pakai cukup satu kain yang mereka lilit ke seluruh badan (izar), atau sepotong gamis, beserta selendang panjang yang dipakai saat musim dingin. Untuk makan pun, mereka cukup dengan memakan buah kurma sehari-harinya.
Tradisi menghafal tersebut kemudian diwarisi bangsa Arab generasi selanjutnya hingga masa-masa pengembangan keilmuan Islam. Tak heran jika di zaman Rasulullah saw. ada sedemikian banyak sahabat yang menghafal Alquran ayat demi ayat, bahkan menghafalkan setiap perkataan Rasulullah saw.
Proses transfer keilmuan Islam pun akhirnya bertumpu pada hafalan-hafalan ulama. Proses mengajar masih dilakukan secara tradisional, guru menyampaikan dan murid menghafalkan. Baru lah tradisi penulisan dan pembukuan masif di masa Abu Ja’far Al-Mansur Dinasti Abbasiyah di abad 7 Masehi.
Sekalipun demikian, tradisi menghafal juga tidak semerta-merta hilang di kalangan muslim Arab dan Timur Tengah. Sebagaimana kita tahu, banyak ulama-ulama zaman itu yang sangat masyhur keilmuannya dan mereka sudah menghafal Alquran sebelum menginjak usia sepuluh tahun. Sehingga, di masa remajanya mereka sudah mampu menulis kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu keislaman.
Jika direnungkan, tradisi tersebut alangkah indahnya kalau bisa dilestarikan oleh seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia. Sebab menghafal menjadi instrumen penting umat muslim untuk menjaga sumber-sumber primer maupun sekunder ajaran-ajaran Islam. Sekalipun teknologi sudah semakin canggih, kita tidak dapat menjamin bahwa apa-apa yang sudah tertulis akan selalu aman dari berbagai hal. Sehingga hafalan-hafalan di dada umat Islam menjadi satu-satunya tempat teraman. Itulah alasan-alasan mengapa ulama terdahulu memiliki daya hafalan yang kuat.
Sebagai refleksi, mengapa menghafal menjadi hal yang sulit buat kita, penulis ingin melontarkan beberapa pertanyaan. Sudahkah kita memiliki tekad kuat untuk turut andil melestarikan ilmu pengetahuan? Sudahkah kita menjadikan kegiatan menghafal sebagai prioritas laku keseharian kita? Sudahkah kita memaksimalkan proses transfer ilmu saat berguru, sehingga proses menghafal menjadi lebih mudah?
Editor: Zahrotun Nafisah