BincangMuslimah.Com – Awal abad 20, berbagai upaya baru untuk menggugat keterpinggiran perempuan dilakukan. Dalam kajian Islam di Timur terdapat nama Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi yang menjadi perempuan pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam. Beliau juga mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang memarjinalkan dan merendahkan perempuan.
Pada zamannya, beliau mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender dengan membuka akses pendidikan yang sama bagi perempuan. Ide, gagasan dan kritik-kritikannya dirangkum dalam bukunya yang berjudul Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris dan al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin. Kemudian perjuangan dilanjutkan oleh Qasim Amin.
Qasim Amin berhasil merangkum perjuangan panjangnya dalam banyak karyanya. Diantaranya adalah Tahrir al-Mar’ah (pembebasan perempuan) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Perempuan Baru). Kemudian dari kedua tokoh inilah lahir para perempuan hebat di berbagai belahan dunia.
Dalam konteks Indonesia, banyak sekali nama ulama perempuan yang terlibat perjuangan. Perjuangan mereka tak hanya sebatas mencurahkan tenaganya, namun juga ide dan pikiran. Salah satunya adalah Annangguru Hudaidah yang berassal dari Poliweli Mandar.
Poliweli Mandar merupakan wilayah yang disebut gudang ulama perempuan, tidak kurang dari delapan nama telah berhasil ditelisik identitasnya. Dalam buku Akar Pembentuk Jaringan Pesantren di Sulawesi Selatan 1928-1952 yang ditulis oleh Syamsudin Arif menuliskan bahwa ulama perempuan di Mandar sangat berperan dalam menyebarkan Islam yakni dengan Mengaji Tudang kepada para Annangguru.
Annangguru Hudaidah lahir pada 31 Desember 1945 di sebuah daerah yang bernama Bonde. Meskipun keterangan lahir beliau ini adalah pilihan alternatif dikarenakan beliau maupun keluarga tidak mengingat persis tahun kelahirannya. Hudaidah merupakan anak pertma dari 4 bersaudara. Dilahirkan seorang ibu bernama Sitti dan ayah bernama Launa.
udaedah kecil memproleh pendidikan dari kedua orangtuanya. Mulai dari menjadi pribadi yang sederhana, menghargai orang lain, da menjunjung tinggi sopan santun. Uniknya sejak kecil, beliau akrab dipanggil Edda dan merupakan seorang yang pemalu. Hudaidah besar hidup dalam kesederhanaan, beliau membantu orangtuanya dengan ikut bertani dan bercocok tanam. Ketika kecil Hudaidah sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 3 di Sekolah Rakyat dikarenakan beliau harus membantu orangtuanya bercocok tanam.
Dalam buku Studi Mengenai Nilai-nilai Budaya Orang Balanipa Mandar yang dituliskan Darmawan Mas’ud Rahman dituliskan bahwa setelah mengeyam pendidikan hingga kelas 3, Hudaidah belajar agama atau mengaji pada Muhammad Zein (Puang Kali Campalagian). Beliau dibesarkan dalam tradisi mengaji tudang (halaqah atau sorongan).
Dengan proses yang dijalani inilah kemudian beliau dipercaya sebagai penerus H. Muhammad Zein untuk mengajarkan kitab kuning hingga sekarang. Bahkan beliau hafal di luar kepala dan mampu mentransformasikan ilmunya kepada murid-muridnya. Beliau juga mengajarkan bagaimana menjadi orang yang rendah hati meskipun sudah memiliki pengetahuan.
Keseharian Hudaidah yang lain ialah dipanggil masyarakat setempat sering dipanggil untuk membantu proses penyelenggaraan jenazah perempuan. Bahkan beliau juga pernah dipanggil untuk memberikan tausiyah dan ceramah, namun beliau menolak ajakan tersebut.
Suatu hari beliau pernah menganjurkan untuk mencari tokoh agama laki-laki, karena menurutnya urusan dakwah dan ceramah laki-laki memilki waasan keagamaan yang lebih baik. De uissengngi iya ma’ceramah, afa’na taniaki’ mai ana fassikola (ssaya merassa tidak pantas bercermah, sebab saya bukan anak sekolahan) begitu Annangguru Edda sering katakan.
Pada tahun 2012, beliau memperoleh anugerah dari bupati Kepala Daerah Kabupaten Poliwali Mandar dengan sertifikat ABM (Ali Baal Masdar) kategori pengabdian massyarakat dalam bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda, Ia pun menjadi suri tauladan bagi masyarakat lainnya di Poliweli Mandar.
Cara dakwah yang dibawa Annangguru Hudaidah adalah mangaji tudang. Mengaji Tudang merupakan proses audiensi, silaturahmi, dan menghadap kepada agamawan di tempat kediamannya dalam rangka mempelajari ilmu agama. Dinamakan Mengaji Tudang karena belajarnya dalam bentuk pengajian dengan duduk melingkar dihadapan sang guru secara langsung. Dengan cara ini, setiap pelajaran atau bacaan yang salah bisa langsung dan cepat dikoreksi sang guru.
Istilah mangaji tudang berasal dari bahas Bugis, yang ssecara leksikal berarti mengaji sambil duduk. Dalam tradisi Jawa dinamakan dengan jejer pandita atau dalam bahasa Bugis lainnya disebut tudang guru. Sedangkan dalam tradisi lainnya istilah ini biasanya diidentikan dengan lakon cerita pewayangan yang menggambarkan pertemuan tokoh protagonis dengan seorang guru spiritual yang menjadi pembimbingnya dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman.
Ahmad Baso menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Pesantren Studies bahwa mangaji tudang sesungguhnya berasal dari tradisi mengaji Alquran yang kemudian penggunaanya diperluas dan dipakai untuk menyebut aktivitas belajar (mengaji) selain Alquran, seperti mengaji hadis dan kitab-kitab fikih klasik (kitab kuning). Orang-orang yang sedang melakukan pendidikan ini terkenal dengan nama panggaji kitta yang bertujuan mendidik santri agar dapat membaca kitab gundul serta mempelajari dan memahami isi kandungannya.