BincangMuslimah.Com – Siapa yang tidak ingin menikah? Mayoritas masyarakat pasti mendamba-dambakannya, khususnya mereka yang masih gadis dan perjaka. Maka dari itu, tidak heran jika Nabi menyebutnya sebagai penyempurna separuh agama. Namun agar tidak salah paham kepada syariat nikah, sebaiknya ketahui dulu apa tujuan dan prinsip dari syariat nikah itu sendiri. Berikut ini penjelasannya.
Menurut Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam kitab Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah (hal 173 – 180), tujuan dilegisasikannya akad nikah (maqashid al-syari’ah fi al-nikah) dalam Islam bermuara pada dua prinsip di bawah ini.
Pertama, Membedakan Akad Nikah dengan Hubungan Asmara Lainnya.
Disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Sayyidah ‘Aisyah pernah berkisah bahwa pada zaman jahiliah, bentuk pernikahan ada empat sebagaimana berikut,
Pertama, pernikahan yang dilakukan seperti di zaman sekarang, yaitu pernikahan yang melibatkan wali mempelai wanita serta membayar maharnya.
Kedua, seorang istri yang diperintah oleh sang suami untuk bersenggama dengan lelaki lain sampai hamil. Setelah hamil, sang istri kembali kepada pangkuan sang suami dan behubungan intim dengannya. Hal ini dilakukan karena dianggap dapat memperbaiki keturunan sang suami. Pernikahan ini disebut dengan nikah al-istibdha’.
Ketiga, tradisi satu perempuan yang digauli oleh kurang dari sepuluh laki-laki. Kemudian, jika perempuan tersebut melahirkan seorang anak maka dia akan mengumpulkan seluruh laki-laki yang tidur dengannya guna menentukan siapa bapaknya. Tentunya, pria yang dipilih tidak bisa menolaknya.
Keempat, tradisi seks berjamaah antar sekelompok laki-laki dengan sekelompok perempuan secara random (acak). Kemudian, jika ada satu perempuan yang hamil maka sekelompok laki-laki tersebut berkumpul guna menentukan siapa yang akan menjadi bapaknya secara kesepakatan. (Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jus 7, hal 15)
Melihat fenomena ini, Nabi Muhammad Saw. turut prihatin akan budaya yang berkembang di sekitarnya. Sehingga, Allah Swt. mengutusnya dengan membawa sebuah konsep pernikahan yang menjauhkan umat dari sifat kebinatangan menjadi insan yang bermoral dan berkemanusiaan. Konsep tersebut menegasikan tiga budaya terakhir di atas dan mengafirmasi yang pertama.
Dengan adanya konsep ini, budaya pernikahan dalam Islam menjadi berbeda dengan budaya-budaya pernikahan yang ada sebelum Islam, khususnya di zaman jahiliah. Sekurang-kurangnya, perbedaan ini ditandai oleh tiga faktor:
- Keterlibatan wali mempelai wanita dalam proses akad nikah
- Kewajiban membayar mahar oleh suami untuk istrinya
- Transparansi dalam menyelenggarakan akad nikah
Kedua, Hubungan Suami-Istri Tidak Boleh Dibatasi oleh Waktu.
Jauh sebelum Islam datang, sempat berkembang tradisi nikah mut’ah di kalangan masyarakat Arab. Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu. Artinya, jika telah tiba waktu yang ditentukan, maka terputuslah hubungan suami-istri dengan sendirinya.
Di awal periode perjalanan Islam, tradisi nikah mut’ah sempat dilegalkan. Namun, pada akhirnya praktik semacam ini dihapus (dinasakh) oleh Rasulullah Saw., tepatnya setelah momen peperangan Khaibar. Bahkan sampai saat ini, jumhur ulama fikih telah sepakat bahwa nikah mut’ah tergolong pernikahan yang batal. Adapun ada yang membolehkannya, itu hanyalah sebagian kecil dan dianggap pendapat yang menyimpang (syadz). (Syekh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarh Raud al-Thalib, jus 3, hal 121)
Oleh karena itu, sudah seharusnya pernikahan tidak terbatas dengan waktu tertentu. Jika masih dibatasi dengan waktu tertentu, tentu akad tersebut tidak ada bedanya dengan akad sewa-menyewa. Kalaupun akad nikah dianggap sebagai akad sewa-menyewa maka hukum sewa-menyewa kemaluan adalah haram dan tidak sah. (Syekh Muhammad Ibnu Qasim al-Gazhi, Fath al-Qarib, hal 38)
Berangkat dari dua prisnsip ini, Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur menyimpulkan bahwa tujuan disyariatkannya akad nikah (maqashid al-syari’ah fi al-nikah) dalam Islam ada tiga, yaitu:
- Kewajiban bersikap baik kepada kaum hawa yang sempat menjadi objek kekerasan seksual dalam fakta sejarah.
- Kewajiban bersikap adil kepada kaum hawa yang selalu mengalami marginalisasi dan subordinasi dalam fakta sejarah.
- Kewenangan hakim dalam menentukan lanjut dan tidaknya bahtera rumah tangga yang sedang ditimpa masalah. (Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, hal 180).
Demikianlah pemikiran Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam menentukan maqashid al-syari’ah fi al-nikah dalam Islam. Semoga kita bisa mempelajarinya dan mempraktikannya dalam kehidupan keluarga.
Allahu A’lam…..
Rekomendasi
