BincangMuslimah.Com- “Kami ingin yang terbaik untukmu.”
“Kamu harus sukses supaya hidupmu lebih baik dari kami.”
“Kami berkorban banyak,sekarang giliran kamu membalasnya.”
Ungkapan-ungkapan di atas jamak terdengar bagi anak di Indonesia, terutama dalam keluarga yang memegang nilai tradisional. Di balik kalimat-kalimat tersebut, terdapat pola pengasuhan yang terkenal dengan istilah pengasuhan berbasis ekspektasi.
Yaitu bentuk parenting yang terlalu fokus pada pencapaian dan standar ideal orang tua, alih-alih kebutuhan emosional dan karakter unik anak
Dalam banyak keluarga Asia, termasuk di Indonesia, orang tua memasung harapan agar anak-anak mereka memiliki kehidupan yang baik. Terutama dalam hal pendidikan dan karier.
Ungkapan seperti “Orang tua ingin anaknya jadi yang terbaik” mungkin terdengar mulia. Namun siapa sangka, jika tidak berhati-hati, harapan ini juga berisiko melahirkan manusia yang tidak bahagia.
Ketika harapan ini berubah menjadi ekspektasi yang berlebihan, maka para orang tua sesungguhnya telah memberikan tekanan konstan pada anak. Disadari atau tidak, hal ini justru bisa dapat berdampak buruk pada kesejahteraan psikis dan kesehatan mental anak. Dan tentunya, hal ini bisa mempengaruhi kehidupan anak di masa depan kelak.
Justru, niat baik ini tidak selalu menghasilkan dampak baik. Penelitian dan pengalaman psikologis anak menunjukkan bahwa pola pengasuhan semacam ini dapat menimbulkan ‘luka’ jangka panjang dari rasa tidak cukup baik, kecemasan kronis, hingga depresi yang sulit dikenali.
Menurut psikolog Edward Deci dan Richard Ryan dalam teori Self-Determination Theory (2000), manusia, termasuk anak-anak, membutuhkan tiga hal dasar agar bisa berkembang sehat: otonomi, kompetensi, dan relasi yang hangat. Ketika anak tidak diberi ruang untuk membuat pilihan, ketika mereka hanya dinilai dari prestasi, dan ketika cinta orang tua terasa bersyarat (hanya hadir saat anak “berhasil”), maka luka psikologis pun mulai terbentuk.
Studi di China: Harapan Tinggi Orang Tua Bisa Jadi Pedang Bermata Dua
Sebuah studi di Tiongkok menemukan bahwa harapan orang tua yang tinggi tidak selalu berdampak positif terhadap kebahagiaan anak-anak mereka. Bahkan, dalam beberapa kondisi, ekspektasi ini justru menjadi sumber tekanan emosional yang serius.
Penelitian ini menemukan bahwa persepsi remaja terhadap harapan orang tua berkorelasi lemah dengan kebahagiaan mereka. Dalam banyak kasus, semakin tinggi harapan yang dirasakan, semakin rendah tingkat kebahagiaan remaja—terutama ketika mereka memiliki self-efficacy tinggi (rasa percaya diri dalam mengatasi tantangan) atau tingkat keterhubungan sosial yang rendah.
Ketika harapan orang tua dirasakan terlalu mengontrol atau mengekang, mereka cenderung mengalami konflik batin, frustrasi, bahkan penurunan kebahagiaan.
Sebaliknya, remaja dengan jaringan sosial dan hubungan keluarga yang kuat lebih mampu menghadapi tekanan tersebut. Keterhubungan yang baik berperan sebagai pelindung emosional dan memungkinkan mereka untuk mencari dukungan saat dibutuhkan.
Masih dalam penelitian yang sama, remaja yang percaya diri dan ambisius justru lebih sensitif terhadap apakah orang tua mereka menghormati otonomi dan kapasitas mereka. Ketika ekspektasi orang tua terasa seperti tuntutan tanpa empati, mereka merasa kehilangan kendali atas hidup sendiri.
Dalam budaya yang menekankan kehormatan keluarga dan kepatuhan, seperti budaya Konfusianisme di Tiongkok (dan juga nilai-nilai tradisional di Indonesia), sering kali memaknai harapan terhadap anak sebagai bentuk kasih sayang. Namun, jika tidak mengimbanginya dengan dukungan emosional dan komunikasi yang terbuka, harapan tersebut bisa menjadi sumber tekanan psikologis yang serius.
Temuan ini penting untuk dipahami oleh para orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan. Pendidikan memang penting, tetapi tidak boleh mengabaikan kesejahteraan emosional anak. Harapan tinggi perlu berdampingan dengan sensitivitas terhadap kondisi psikologis anak dan kualitas hubungan sosial mereka.
Anak-Anak Bukanlah Proyek Ambisi Orang Tua
Menyesuaikan harapan dengan karakter anak terutama bagi mereka yang mandiri dan perfeksionis adalah langkah bijak. Memfasilitasi hubungan sosial yang sehat, membuka ruang komunikasi yang setara, dan menghargai pilihan pribadi anak dapat membantu mereka berkembang tanpa kehilangan kebahagiaan.
Mungkin kita bisa kembali menyimak satu baik puisi dari penyair Lebanon, Khalil Gibran, dalam karyanya berjudul “Anakmu bukanlah milikmu”:
Mereka datang melalui kamu, tapi bukan dari kamu
Dan meski pun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Puisi ini mengingatkan kita bahwa anak-anak bukanlah proyek ambisi orang tua, tetapi individu dengan jalan hidup dan kehendaknya sendiri.
Dalam konteks modern, pesan Gibran dan hasil penelitian ini mengajarkan hal yang sama. Orang tua yang bijak bukan hanya yang berharap tinggi, tetapi juga yang mampu menciptakan ruang aman dan dukungan emosional untuk anak-anaknya tumbuh sesuai dengan jati diri mereka.
Referensi:
https://bmcpsychology.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40359-025-02345-4?utm_source=chatgpt.com
2 Comments