Ikuti Kami

Kajian

Bantahan terhadap Muktazilah tentang Kebolehan Melihat Allah

muktazilah kebolehan melihat Allah
credit: picture from gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Muslim Ahlusunnah wal Jama’ah telah sepakat bahwa Allah Swt. mungkin untuk kita lihat. Pendapat ini berlandaskan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis) maupun aqli (logika). Sebagaimana ayat-ayat Alquran banyak yang menyebutkan pertemuan orang-orang yang beriman dengan Allah Swt. kelak di surga. Di antaranya, surat al-Qiyamah ayat 22-23 dan surat al-Kahfi ayat 110. Begitu juga dalam surat al-A’raf ayat 143 yang mengisahkan pertemuan Nabi Musa a.s. dengan Allah Swt. di Gunung Sinai, sebagaimana yang telah penulis ulas dalam tulisan sebelumnya.

Menariknya, dalil-dalil Ahlusunnah wal Jama’ah terkait kebolehan melihat Allah Swt. yang berangkat dari kisah Nabi Musa a.s. dalam surat al-A’raf tersebut, diartikan berbeda oleh kelompok Muktazilah. Jamak diketahui, dalam mentanzih Allah Swt. Kelompok Muktazilah, selain menolak kebolehan kita melihat Allah Swt. di surga kelak, dalam rangka menjauhkan Allah Swt. dari hal-hal yang mengarah pada keserupan-Nya dengan makhluk, Muktazilah juga menafikan adanya sifat-sifat Allah yang berdiri bersama Dzat-Nya. Berbeda dengan Ahlusunnah wal Jama’ah yang justru menyandarkan sifat-sifat mulai kepada Dzat-Nya, yang tentu saja dengan batasan-batasan tertentu yang tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk.

Setelah di tulisan sebelumnya saya mengulas bagaimana Ahlusunnah wal Jama’ah memaknai kisah Nabi Musa a.s sebagai dasar kebolehan kita melihat Allah Swt., kali ini saya akan memaparkan tafsir Muktazilah terkait kisah tersebut, yang ternyata mereka memaknainya jauh berbeda dengan Ahlusunnah wal Jama’ah. Serta saya akan mengulas bagaimana Ahlusunnah wal jama’ah menyikapi pendapat Muktazilah tersebut. Berikut ayat surat al-A’raf yang akan saya ulas.

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Baca Juga:  Penjelasan Gus Baha tentang Hukum Sopir Angkot Terima Ongkos dari PSK

“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”

Dalam ayat ini, ada empat poin pendapat Muktazilah yang akan kita bahas. Pertama, dalam kalimat رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَ menurut Muktazilah, Nabi Musa a.s. bukanlah bermaksud memohon agar Allah Swt. menampakkan diri sehingga beliau bisa melihat-Nya. Akan tetapi, beliau ingin diperlihatkan tanda kekuasan-Nya. Pendapat Muktazilah ini dibantah oleh Ahlusunnah wal Jamaah sebab melenceng dari teks Alquran. Jika yang dimaksud adalah menunjukkan tanda kekuasaan-Nya, maka dalam ayat tersebut akan tertulisأيَاتِك  اَنْظُرْ اِلَيْ اَرِنِيْٓ . Pun saat diminta demikian oleh Nabi Musa a.s, Allah Swt. akan menjawab  dengan لَنْ تَرٰى أيَاتِيْ  bukan لَنْ تَرٰىنِيْ.  Serta dalam menjawab permintaan tersebut Allah SWT. tidak akan berpanjang lebar menggantungkan keberadaan-Nya dengan keadaan gunung.

Kedua, menurut Muktazilah, dengan permintaan tersebut, Nabi Musa a.s. bermaksud mengajarkan kepada kaumnya tentang kemustahilan melihat Allah Swt. Yakni beliau mempraktikkan permintaan tersebut supaya menjadi jelas, bahwa meminta Allah Swt. untuk menampakkan diri adalah hal yang dilarang. 

Pendapat ini disanggah oleh Ahlusunnah wal Jama’ah dengan pernyataan yang logis. Tidak mungkin seorang Rasul menjelaskan suatu perilaku yang tidak baik kepada umatnya, yakni dengan mempraktikkan hal tercela tersebut sendiri. Praktek tersebut justru akan mencederai kemuliaan seorang Rasul. Jikalau pun hal tersebut benar, maka saat itu Nabi Musa a.s akan mempraktekkan hal tersebut di depan umatnya secara langsung, sehingga kejadian tersebut bisa dipercayai oleh mereka. Sedangkan jamak diketahui, saat itu Nabi Musa a.s bermunajat seorang diri di Gunung Sinai. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin Nabi Musa a.s meminta Allah Swt. untuk menampakkan diri dengan tujuan menjelaskan hal terlarang tersebut kepada umatnya.

Baca Juga:  Apakah Menghirup Obat Asma Membatalkan Puasa?

Ketiga, menurut Muktazilah, jika benar melihat Allah Swt. adalah hal yang mungkin terjadi, maka dalam ayat tersebut Allah Swt. tidak akan menggunakan redaksi kata لَنْ تَرٰىنِيْ. Sebab dalam adat bahasa Arab, lafaz لَنْ berfaedah li al-taabîd, yakni meniadakan selamanya. Dalam hal ini Ahlussunnah wal Jama’ah membantah dengan dalih lafaz  لَنْ tidaklah berfaedah menafikan sesuatu selamanya (tidak dalam jangka waktu tertentu). Akan tetapi ia berfaedah li taakîd al-nafyi, yakni memperkuat sebuah ketiadaaan. Seperti dalam surat maryam ayat 26 yang berbunyi,

فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا 

“Maka katakanlah (Maryam)! Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”

Jelas dalam ayat tersebut, setelah lafaz لَنْ  jatuh lafaz الْيَوْمَ yang bermaksud membatasi waktu. Sayyidah Maryam bernazar untuk tidak berbicara pada siapa pun di hari itu. Bukan untuk tidak becara kepada siapa pun selama-lamanya. Sehingga jika benar lafaz لَنْ berfaedah li al-taabîd, maka ayat tersebut tidaklah sah atau tidak sesuai dengan adat bahasa Arab sebagaimana dalih Muktazilah. Sebab

Keempat, di akhir ayat tersebut menerangkan bahwa Nabi Musa a.s bartobat kepada Allah Swt. yang dijelaskan dalam kalimat  سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ yang berarti “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau”. Menurut Muktazilah, tidak lah mungkin Nabi Musa a.s bertobat kepada Allah Swt. kecuali beliau telah melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan beliau tersebut tidak lain adalah permintaannya supaya Allah Swt. menampakkan diri saat di Gunung Sinai. 

Argumentasi Muktazilah ini tentu saja disanggah oleh Ahlusunnah wal jama’ah. Sebab telah jelas, untuk bertobat kepada Allah Swt. tidak harus didahului dengan perbuatan dosa. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan Nabi Muhammad Saw. setiap harinya beristighfar sebanyak tujuh puluh kali. Bagaimana mungkin seorang rasul yang lisan serta perbuatannya telah terjaga—bahkan tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan beliau Saw. menyakiti orang lain, mesti beristighfar setiap harinya karena telah melakukan sebuah dosa. 

Baca Juga:  Menelisik Kisah Nabi Musa Berbicara dengan Allah

Dari ulasan di atas, kiranya kita bisa memahami bahwa kebolehan melihat Allah Swt. di surga nanti adalah hal yang telah jelas dan berlandaskan pada dalil-dalil naqli maupun aqli. Sekalipun kelompok-kelompok Islam lain melontarkan dalil yang menunjukkan sebaliknya, namun Ahlussunnah wal Jamaah selalu bisa menyanggahnya dengan argumentasi yang tepat berdasarkan teks yang ada. 

Rekomendasi

Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama'ah Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama'ah

Pengertian dan Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama’ah

nabi musa berbicara Allah nabi musa berbicara Allah

Menelisik Kisah Nabi Musa Berbicara dengan Allah

amalan memasuki mekkah madinah amalan memasuki mekkah madinah

Paham Ahlussunnah dalam Memaknai Sifat-sifat Allah

allah ada di langit allah ada di langit

Menjawab Pertanyaan, “Benarkah Allah Ada di Langit?”

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

2 Komentar

2 Comments

Komentari

Terbaru

puasa syawal kurang enam puasa syawal kurang enam

Puasa Syawal Tapi Kurang dari Enam Hari, Bagaimana Hukumnya?

Kajian

orang tua beda agama orang tua beda agama

Bagaimana Sikap Kita Jika Orang Tua Beda Agama?

Khazanah

Nyi Hadjar Dewantara pendidikan Nyi Hadjar Dewantara pendidikan

Perjuangan Nyi Hadjar Dewantara dalam Memajukan Pendidikan Indonesia

Khazanah

isu perempuan najwa shihab isu perempuan najwa shihab

Kekerasan, Kesenjangan, dan Krisis Percaya Diri: Isu Penting Perempuan Menurut Najwa Shihab

Kajian

sikap rasulullah masyarakat adat sikap rasulullah masyarakat adat

Meneladani Sikap Rasulullah terhadap Masyarakat Adat

Khazanah

puasa wajib segera diganti puasa wajib segera diganti

Meninggalkan Puasa Wajib dengan Sengaja, Haruskah Segera Diganti?

Kajian

Keuntungan Menggunakan Pembalut Kain Keuntungan Menggunakan Pembalut Kain

Keuntungan Menggunakan Pembalut Kain dan Pesan Menjaga Bumi dalam Islam

Muslimah Daily

doa terhindar dari keburukan doa terhindar dari keburukan

Doa Nabi Muhammad ketika Bangun Tengah Malam untuk Shalat

Ibadah

Trending

perempuan titik nol arab perempuan titik nol arab

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi

Diari

Fatimah az zahra rasulullah Fatimah az zahra rasulullah

Sayyidah Sukainah binti Al-Husain: Cicit Rasulullah, Sang Kritikus Sastra

Kajian

Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia

R.A. Lasminingrat: Penggagas Sekolah Rakyat dan Tokoh Emansipasi Pertama di Indonesia

Muslimah Talk

Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah

Nyai Khoiriyah Hasyim dan Jejak Perjuangan Emansipasi Perempuan di Mekkah

Kajian

Teungku Fakinah Teungku Fakinah

Zainab binti Jahsy, Istri Rasulullah yang Paling Gemar Bersedekah

Kajian

Mahar Transaksi Jual Beli Mahar Transaksi Jual Beli

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 4; Mahar Bukan Transaksi Jual Beli

Kajian

Definisi anak menurut hukum Definisi anak menurut hukum

Definisi Anak Menurut Hukum, Umur Berapa Seorang Anak Dianggap Dewasa?

Kajian

Hukum Sulam Alis dalam Islam

Muslimah Daily

Connect