BincangMuslimah.Com – Di saat Mu’tazilah berusaha menjauhkan Allah SWT. dari segala hal yang menyerupai makhluk dengan meniadakan sifat pada Dzat Allah SWT, di sisi lain kelompok Mujassimah justru menyifati Allah SWT. dengan sifat-sifat yang menyerupai makhluk. Seperti keyakinan mereka bahwa Allah SWT. duduk di ‘Arsy, segala sesuatu pasti musnah kecuali wajah Allah SWT, dan sebagainya. Oleh karenanya, kelompok Ahlussunnah berusaha untuk memposisikan diri di antara dua kelompok tersebut dalam memaknai sifat-sifat Allah SWT.
Kelompok Ahlussunnah mengimani wujud sifat Allah SWT. bersamaan dengan wujud dzat-Nya. Akan tetapi mafhum sifat berbeda dengan mafhum dzat. Ahlusunnah juga mengimani bahwa sifat-sifat Allah SWT. tersebut adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya. Semua sifat tersebut adalah sifat kesempurnaan, tidak ada sisi kekurangan sama sekali. Serta tidak menyerupai sifat makhluk sama sekali.
Dalam hal ini, Ahlussunnah berlandaskan pada dalil-dalil qath’iy (pasti). Secara aqli, Allah SWT. adalah Pencipta semesta alam; Dzat yang mengadakan alam semesta setelah ketiadaannya. Lantas Allah SWT. adalah wajibul wujud yang keberadaan-Nya tidak bergantung kepada selain-Nya. Akan tetapi wujud selain-Nya lah yang bersandar kepada Allah SWT. Maka, Dzat yang keberadaan-Nya menjadi sebab keberadaan semesta alam, mustahil menyerupai makhluk ciptaan-Nya sendiri.
Adapun dalil naqli Ahlussunnah berlandaskan Alquran yang menyebutkan,
ليس كمثله شيء
“Tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah SWT.”
Jika diperhatikan, dalam ayat tersebut terdapat dua kalimah tasybih (kata yang menunjukkan keserupaan), yaitu hufuf kaf dan lafaz مثل. Ulama Ahlussunnah melihat ada alasan kuat dibalik hal tersebut. Sebagian mufasir menganggap huruf kaf dalam ayat tersebut sebagai kata sambung, sehingga maknanya seperti kalimat ليس مثله شيء . Ada juga mufasir yang menganggap lafaz مثل sebagai kata hubung, sehingga menjadi ليس كهو شيء.
Sedangkan Ulama Ahlussunnah tidak demikian. Mereka meyakini bahwa tidak ada satu huruf pun di dalam Alquran yang sepi dari faedah. Sehingga maksud keberadaan dua kalimah tasybih dalam ayat tersebut adalah sebagai bentuk pengakidan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah SWT dari sisi mana pun. Hal ini bersifat absolut. Yakni tidak ada makhluk yang menyerupai Allah SWT. secara mutlak (persis dari segala sisi), juga tidak ada yang menyerupai-Nya dari sebagian sisi.
Mustahil ada makhluk yang sama persis dengan Allah SWT. Sampai saat ini pun tidak ada bukti bahwa ada wujud yang sama persis dengan wujud-Nya. Adapun keberadaan makhluk yang menyerupai sebagian dari sifat Allah, juga mustahil. Oleh karena sifat-sifat Allah bersifat qadim (tidak ada yang mendahului), maka jika ada makhluk yang sebagian sifatnya menyerupai sifat Allah SWT. akan melazimkan ada sifat qadim yang melekat pada makhluk tersebut. Dan hal itu mustahil. Tidak mungkin suatu makhluk sebagian sifatnya kadim dan sebagian lainnya bersifat sementara dan akan musnah. Sehingga semakin jelas maksud dari ayat tersebut, bahwa tidak satu pun makhluk yang menyerupai Allah SWT. baik secara mutlak maupun sebagian dari sifat-Nya.
Adapun kelompok Islam Mujassimah, agaknya berbeda dengan kelompok Ahlusunnah dalam memaknai ayat tersebut. Sebab dalam menafsiri ayat-ayat mutasyabih, mereka mencukupkan diri dengan memaknai ayat tersebut secara tekstual. Padahal para ulama lain berusaha mentakwil atau pun mentafwidh maksud ayat tersebut, dengan maksud mentanzih Allah SWT. dari hal-hal yang menyerupai makhluk. Di antara yang paling menyita perhatian adalah tafsir mereka terkait ayat كل شيء هالك إلا وجهه. Lafaz وجهه dalam ayat tersebut diartikan secara tekstual, yakni segala sesuatu akan musnah kecuali wajah Allah SWT.
Pemaknaan seperti ini tentu saja tidak pantas disandarkan kepada Allah SWT, sebab mustahil Dzat Allah SWT. menyerupai makhluk (sebagaimana dalil ahlussunnah yang telah dijelaskan di atas). Sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut, Ulama Ahlussunnah memiliki dua manhaj yang bisa dilakukan salah satunya. Pertama, dengan tafwidh. Yakni mengembalikan maksud ayat tersebut kepada Allah SWT. dengan tidak menafsirkan apapun tentang ayat tersebut.
Manhaj pertama ini yang kebanyakan dilakukan oleh ulama salaf. Sedangkan yang kedua (ulama khalaf), adalah dengan mentakwil ayat tersebut ke makna yang sesuai dengan Dzat Allah SWT. Dengat syarat tidak bertentangan dengan kaidah bahasa arab dan tidak mengklaim bahwa tafsir tersebut adalah satu-satunya makna yang diinginka Allah SWT. dalam ayat tersebut.
Adapun jika mengulas lafaz وجه yang disandarkan pada lafaz Allah SWT, maka makna yang dimaksud وجه adalah Dzat Allah SWT. itu sendiri. Ini berlaku pada semua lafaz وجه dalam Alquran yang disandingkan dengan lafaz Allah SWT. Sebagaimana kita saat berbicara dengan orang yang lebih tua, tentu kita akan menggunakan redaksi kata panggilan yang sopan, dalam rangka menujukkan rasa hormat kepada lawan bicara.
Saat kita berbicara dengan dosen misalkan. Tidak mungkin kita menggunakan kata “kamu” sebagai kata panggilan. Jika tidak menggunakan kata “anda” mungkin kita akan memanggil dengan menyebut nama dosen beserta sapaan “Bu”, “Pak”, atau bahkan “Prof” untuk menunjukkan bentuk hormat. Demikianlah lafaz وجه jika disandarkan pada lafaz Allah SWT. Yakni bermaksud menunjukkan keagungan Allah SWT. sebagai Tuhan Pencipta Alam.
Menanggapi kelompok Mujassimah yang gemar memaknai ayat mutasyabih secara tekstual, Imam Nuruddin al-Shabuni dalam kitabnya al-Kifâyah wa al-Hidâyah menyebutkan bahwa kelompok mujassimah seringkali mengada-ngada cerita dan khabar. Lantas cerita dan khabar tersebut disandarkan kepada Rasulullah SAW. Padahal telah jelas, baik matan maupun sanad khabar tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam argumen mereka tentang Allah SWT. yang berjisim.
Lantas, jika kita dihadapkan pada dua dalil, yang satu dalil qath’i secara aqli dan naqli (dalil Ahlussunnah), sedangkan lainnya adalah riwayat yang tidak mencapai derajat mutawatir (Mujassimah). Pendapat manakah yang harus kita imani?
3 Comments