BincangMuslimah.Com – Teman-teman tentu sudah tidak asing dengan pepatah “banyak anak banyak rezeki.” Ya, pepatah tersebut sangat populer dari zaman dulu dan tetap lestari di zaman milenial saat ini. Jika melihat nenek dan kakek kita, memang orang tua pada zaman dulu mayoritas memiliki banyak anak. Alibi yang mereka gunakan tidak lain adalah karena banyak anak banyak rezeki. Namun, benarkah demikian? Setiap anak membawa rezeki, adalah kalimat pendukung dari “banyak anak banyak rezeki.”
Anggapan tersebut tidaklah salah, karena setiap mahkluk di dunia ini sudah ditentukan jodoh, maut, dan rezekinya oleh Tuhan. Namun, bukan berarti setiap anak yang lahir langsung membawa uang/harta bukan? Justru mereka yang nantinya wajib dicukupi kebutuhannya oleh orang tuanya. Kebutuhan apa saja? Tentu kebutuhan primer dan sekunder. Bukankah dengan bertambahnya anak maka bertambah pula beban pengeluaran suatu keluarga?
Jelas itu rumus yang masuk akal. Orang tua wajib mencukupi kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan (tempat tinggal) sebagai bekal untuk bertahan hidup. Selain itu juga kebutuhan sekunder sebagai kebutuhan penunjang hidup seperti pendidikan, akses kesehatan, dan hiburan. Dua kebutuhan tersebut tentu harus sudah dipikirkan orang tua sejak anak masih di dalam kandungan. Maka anggapan banyak anak banyak rezeki amatlah tidak tepat. Karena justru semakin banyak anak maka makin banyak pula pengeluarannya.
Pasangan suami istri zaman sekarang tentu tidak disarankan memiliki konsep rumah tangga seperti orang tua zaman dulu. Ada banyak hal yang tentu harus dipikirkan sebelum mempunyai anak. Pertama, bicarakan dengan pasangan apakah dalam pernikahan ingin mempunyai anak atau tidak? Jika iya, maka pertanyaan selanjutnya adalah kapan mau punya anak? Lalu mau punya berapa anak? Tiga pertanyaan awal ini haruslah sudah clear sebelum memutuskan untuk menikah.
Setelah memutuskan iya, kapan dan berapanya, maka selanjutnya adalah menentukan jenis kontrasepsi mana yang akan digunakan, tentunya alat tersebut harus memberikan kenyamanan bagi suami dan istri. Pembicaraan alat kontrasepsi ini penting, dan bukan hal yang tabu karena komunikasi dalam hubungan intim bisa menjadi faktor keharmonisan pernikahan. Masalah seks dalam pernikahan bukanlah hal yang begitu saja terjadi. Bukan setelah pernikahan kita akan tahu dan paham sendiri, tentu semua hal tersebut harus dipelajari dan bicarakan berdua.
Pasangan milenial yang hidup di zaman serba canggih ini, rasanya sangat tidak pas kalau masih mempertahankan pepatah “banyak anak, banyak rezeki” tersebut. Alasannya karena informasi program keluarga berencana (KB) dan alat kontrasepsi sudah tersebar dengan mudah. Kemudahan teknologi untuk mendapatkan hiburan begitu mudah melalui smartphone dan alat lainnya. Tingkat pendidikan orangtua zaman sekarang juga tentu lebih tinggi dari orang zaman dulu. Sehingga seharusnya keinginan memiliki anak banyak bisa diatasi.
Selain itu, mengutip dari Indonesian Journal of Midwifery edisi September 2018, kehamilan yang terlalu banyak juga masuk dalam kehamilan resiko tinggi “4T” (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, dan terlalu dekat). Paritas atau kelahiran yang terlalu banyak dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam kehamilan, menghambat proses persalinan, menyebabkan pendarahan, dan dapat menambah beban ekonomi keluarga. Resiko semakin bertambah jika sang ibu memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat. Resiko untuk jarak kehamilan yang terlalu dekat antara lain keguguran, anemia, prematur, dan komplikasi lainnya, serta dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan karena kondisi rahim ibu yang belum pulih.
Selain itu, dilansir dari website Halodoc.com, perempuan yang melahirkan lebih dari dua kali memiliki kecenderungan untuk mengalami stress lebih tinggi. Jenis stress yang sering dialami adalah stress oksidatif. Stress yang terjadi pada masa kehamilan ini, disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh. Jadi lebih banyak kehamilan memungkinkan untuk terjadinya lebih banyak stres. Secara psikologi, memiliki banyak anak juga berdampak buruk bagi anak jika orangtua kesulitan membagi perhatian. Memiliki banyak anak tentu harus pula adil dalam memberikan kasih sayang, perhatian, dan kebutuhan lain setiap anak. Jika orang tua kesulitan membagi hal tersebut, maka anak akan memiliki kenangan buruk semasa kecil yang bisa jadi berpengaruh di masa depannya.
Penulis teringat pada sebuah video di platform youtube milik akun “Kimbab Family.” Akun milik sebuah keluarga campuran Indonesia dan Korea Selatan. Keluarga tersebut sudah memiliki 3 orang anak, tapi ketika orangtua mereka mempunyai keinginan untuk menambah anak atau anggota keluarga baru, mereka terlebih dahulu menanyakan anak-anak satu persatu. Kemudian setiap anak memberikan jawaban beserta alasan mereka. Ini adalah contoh yang baik, karena ketika ada anggota baru dalam keluarga otomatis status mereka juga akan berubah, misalnya menjadi kakak. Dengan bertanya pendapat anak, maka anak akan merasa sangat dihargai keberadaanya. Pun, mereka bebas mengatakan tidak untuk menambah anggota keluarga baru. Sebagai orangtua hal ini menjadi langkah baik untuk tidak bersikap egois.
Pada dasarnya membesarkan anak bukanlah perkara yang mudah, perlu kematangan emosi, kesehatan fisik, dan finansial yang stabil. Maka sesungguhnya anggapan banyak anak banyak rezeki tidaklah benar. Ketika makin banyak anak, maka makin banyak pula biaya keperluan yang harus dikeluarkan dan makin banyak pula perhatian yang harus dibagi. Jangan sampai kita meyakini banyak anak banyak rezeki, tapi malah melanggar hak-hak anak yang seharusnya mereka dapat. Ingat setiap anak dijamin haknya oleh undang-undang perlindungan anak. Jadi masih tetap mau punya anak banyak?