BincangMuslimah.Com – Suatu hari, Sayyidah Khadijah menyaksikan Rasulullah pulang dati tahannuts di gua Hira. Bukan dengan wajah lepas seperti biasanya, kali ini Khadijah melihat cintanya menggigil ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal. Keringat dingin terus mengalir di sekujur tubuhnya. Matanya seolah dikejar sesuatu yang begitu mengerikan. Begitu pintu dibuka, Rasulullah bergegas menuju kamar “Zammiluni,,, Zammiluni,,,! Selimuti aku!” ucapnya lirih.
Khadijah tak kalah bingung. Hatinya tertegun penuh tanya “Ada apa ini? apa yang terjadi?. Tidak biasanya suaminya mengalami hal aneh semacam ini. Tapi dia bungkam, lisannya dia tahan kuat-kuat. Keingin tahuannya dia pendam erat-erat. Yang dibutuhkan suaminya sekarang bukan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Cintanya kini butuh ketenangan, butuh kedamaian dari kegelisahan jiwa yang dia alami beberapa waktu yang lalu.
Sepertinya sikap Khadijah yang diam tak bertanya ini hanyalah perkara kecil. Tetapi bagaimana jadinya riwayat kenabian jika Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami keadaan suami saat dilanda panik? Bagaimana jadinya jika saat baginda Nabi mendapat wahyu pertama yang beratnya seakan isi dunia di pundaknya, Khadijah tampil sebagai istri yang tak rela kehilangan berita hangat di momen pertama? Bagaimana jika Khadijah tak hentinya bertanya “ada apa?” “ada apa” yang membuat jiwa Nabi semakin berguncang?
Dari riwayat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini, Khadijah mengajarkan kita suatu kaidah penting. Bahwa harusnya kita mempunyai kepekaan jiwa untuk mengenal kebutuhan seseorang yang kita cintai. Terkadang, kita harus sadar bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tiba saatnya waktu. Di saat yang paling tepat dan dengan cara yang paling indah.
Inilah yang dilakukan Khadijah sehingga begitu dalam cinta Rasulullah padanya. Cinta yang tak bisa tergantikan oleh 9 orang istri Rasulullah, bahkan walau istri-istri yang lain masih sangat cantik dan belia. Khadijah selalu memberikan yang terbaik untuk Rasul. Khadijah memberinya secara habis-habisan. Hidup, cinta, waktu, tenaga, dan harta, ia berikan semua pada Rasul. Tidak ada satupun kebaikan yang dimiliki oleh Khadijah kecuali sudah ia berikan semuanya pada Rasul. Tidak ada kesempatan untuk berkorban kecuali sudah ia korbankan semuanya untuk Rasul.
Dalam sebuah kisah yang disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, Khadijah al-Kubra pernah ditanya oleh seorang wanita Mekkah. “Betapa bahagianya wahai engkau Khadijah, menikah dengan seorang Nabi yang mulia?… Dengan linang di matanya Khadijah menjawab “Ketahuilah, bahwa semenjak aku menikah dengan Rasul. Aku tak pernah lagi memikirkan bagaimana kebahagiaanku. Yang aku pikirkan hanya bagaimana agar Rasul selalu bahagia menikah denganku”.
Begitulah kita belajar tentang cinta sejati dari ibunda Khadijah. Tentang cinta yang selalu memberi dan memberi. Seperti saat Rasulullah tertidur di pangkuannya, air mata Khadijah berlinang membangunkannya. Rasulullah terbangun “Apakah engkau menyesal bersuamikan Muhammad wahai Khadijah”. Sungguh, Sayyidah Khadijah tak pernah menyesal menikahi lelaki mulia ini meski telah habis hartanya, letih raganya, dan hilang kebangsawanannya.
“Jika kau hendak menyebrangi sungai lalu tak kau temui jembatan, perahu atau apapun yang dapat membantumu untuk menyebrang. Jika saat itu aku telah tiada, galilah kuburku dan pakailah tulang-belulangku untuk membantumu.”
Maka, cinta mana yang lebih indah dari cinta Sayyidah Khadijah pada Rasulullaah. Cinta mana yang lebih agung dari seorang istri yang telah membaiatkan hidup dan mati untuk suaminya berjuang di jalan Allah. Semoga suatu hari kita bisa menjadi generasi-generasi indah ibunda Khadijah, menjadi pejuang-pejuang sejati untuk orang yang dikasihi. wallahu A’lam bis shawab.
2 Comments