BincangMuslimah.Com- Beberapa hari ini ramai pembicaraan tentang penculikan dan perdagangan anak lintas pulau; Bilqis. Kasus tersebut membuka luka beberapa masyarakat yang pernah atau masih merasakan hal yang sama yaitu anaknya hilang entah kemana.
Kasus ini menjadi pengingat bagi pemerintah, pemangku kebijakan tiap daerah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat bahwa human traficking masih sangat dekat dengan kehidupan masyarakat.
Perdagangan Anak: Isu Global yang Masih Menghantui
Kasus perdagangan anak ternyata bukan kali ini saja terjadi. Kejahatan penculikan dan sindikat perdagangan anak melibatkan jaringan lintas kota, pulau, hingga lintas negara. Motifnya pun beragam, misalnya menjadikan anak sebagai objek seksual, percobaan obat terlarang, adopsi ilegal hingga paling parah adalah jual beli organ tubuh manusia.
Kejahatan perdagangan anak bukan hanya melanggar hukum, tapi menciderai hak asasi manusia dan moralitas beragama. Bukan hanya Indonesia, negara-negara lain di belahan dunia manapun mengecam perdagangan anak; dan umumnya perdagangan manusia.
Isu perdagangan anak sudah menjadi perhatian global. Sejak tahun 1989 pada forum Convention on the Right of the Child (konvensi hak anak) telah melarang menjadikan anak sebagai objek eksploitasi, kekerasan atau perdagangan. Forum ini diikuti setidaknya 190 negara; termasuk Indonesia.
Negara-negara di lingkup ASEAN sebenarnya juga telah bekerjasama melalui ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP). Tujuannya adalah memperkuat pengawasan pada perbatasan negara-negara dan mengatur kembalinya korban anak ke negara asal secara aman.
Bisakah Negara Memberantas Sindikat Perdagangan Anak?
Pemerintah dan pemimpin negeri selaku ulil amri bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan hak hidup masyarakat; terutama masyarakat rentan. Anak kecil dengan
Perangkat hukum di Indonesia sudah mengatur terkait human trafficking pada Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pada Undang-Undang tersebut juga membahas konsekuensi hukumannya hingga paling lama 12 tahun penjara.
Selain itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76F lebih spesifik mengatur perlindungan anak. Yaitu bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdangangan anak”.
Namun, aturan yang sudah ada apakah sudah cukup membuat kejahatan perdagangan anak mereda? Nyatanya masih banyak kasus yang terjadi dengan berbagai motif.
Berkaca dari kasus Bilqis, pelaku penculikan dan perdagangan anak bukan hanya pelaku tuggal, melainkan berjejaring aktif menyebar di banyak tempat entah di mana saja. Hal ini menjadi tantangan bagi penegak hukum untuk menyelidiki secara utuh hingga ke akarnya, tidak berhenti pada pelaku tunggal atau eksekutor yang nampak di lapangan.
Sinergi Orang Tua, Negara dan Lingkungan dalam Melindungi Anak
Selain peraturan pemerintah, kebijakan para penegak hukum, tentunya perlu juga sinergi dari berbagai pihak, khususnya orang tua dan lingkungan masyarakat. Dengan beberapa kejadian penculikan anak sebaiknya orang tua meningkatkan kewaspadaan pada pengawasan anak. Begitu juga masyarakat umum, sebaiknya turut serta memperhatikan kondisi anak-anak di sekitarnya dan peka jika terdapat tanda posisi bahaya pada anak.
Selain itu, pembekalan pengetahuan dasar anak tentang kondisi bahaya juga perlu dilakukan sejak dini. Misalnya tentang keberanian menolak ajakan orang tidak dikenal, menyediakan alat pelindung diri, atau meminta tolong pada orang lain.
Hal di atas senada dengan program Kementerian PPPA berupa penguatan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat). Gerakan ini seharusnya dapat menjangkau hingga komunitas terkecil untuk bersama-sama menjaga anak dari bahaya; termasuk eksploitasi, deskriminasi, hingga kejahatan seperti perdagangan anak.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang notabene berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; artinya setiap masyarakat wajib beragama, terlibat pada jaringan perdagangan anak sangat mencederai nilai agama pelakunya. Bagaimanapun, tidak ada agama yang membolehkan menyakiti sesama manusia. Tidak hanya Islam, Agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu sama-sama mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia.
Dalam Islam, dikenal konsep hifz nasl dalam maqashid syari’ah yang berarti melindungi keturunan. Melindungi anak dari kejahatan menjadi salah satu tugas besar orang tua yang bukan hanya mengandung nilai sosial, melainkan mengandung nilai religiusitas.
Oleh sebab itu, kasus perdagangan anak ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran nilai spiritual dan kemanusiaan secara universal. Pencegahan, pemberantasan, dan tindak tegas pelaku menjadi upaya global dan panggilan mor untuk seluruh umat manusia.

5 Comments