BincangMuslimah.Com – Secara naluriah, manusia tentu membutuhkan kasih sayang, memiliki rasa cinta dan ingin dicintai oleh lawan jenis. Oleh sebab itu, Islam mensyariatkan adanya pernikahan sebagai sebuah komitmen dan terhindarnya dari perzinaan. Menikah adalah idaman hampir seluruh manusia, laki-laki ataupun perempuan. Dalam masyarakat kita, perempuan lebih banyak menikah di usia yang lebih muda dibandingkan laki-laki dengan alasan reproduksi, fitnah, ataupun budaya.
Secara syariat, tidak ada usia yang pasti kapan seseorang diwajibkan menikah. Hal ini tentu dikarenakan Islam bukan melihat pada usia, tetapi pada sebab dan alasan seseorang diwajibkan, dianjurkan, atau malah dilarang untuk menikah. Syekh Musthafa Al-Khan dan Syekh Al-Bugha dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asyafi’i menjelaskan hukum-hukum menikah, yaitu
Pertama adalah Mustahab atau dianjurkan. Hukum ini berlaku bagi orang yang sudah membutuhkan untuk menikah. Yaitu ia sudah mampu baik secara finansial untuk menafkahi pasangannya ataupun menyelenggarakannya serta berkeinginan menikah. Tentu saja orang tersebut tidak was-was ataupun takut dirinya terjerumus dalam peruatan zina ataupun dosa. Argumentasi anjuran untuk menikah dalam situasi seperti ini adalah hadis Nabi riwayat Abdullah ibn Mas’ud
عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم شبابًا لا نجد شيئًا، فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((يا معشر الشباب، من استطاع الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم؛ فإنه له وجاءٌ))؛ متفق عليه
Artinya: Dari ‘Abdullah Ibn Mas’ud berkata; ketika kami para pemuda bersama nabi tidak mendapatkan sesuatu, Nabi kemudian berkata kepada kami “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Kedua, mustahab tarkuhu atau dianjurkan untuk ditinggalkan. Hukum ini berlaku bagi orang-orang yang sudah berkeinginan untuk menikah akan tetapi ia tidak memiliki kecukupan untuk memberikan nafkah dan menyelenggarakannya. Orang dengan kriteria ini dianjurkan menyibukkan diri dengan beribadah dan berpuasa untuk menjaga dirinya dari perbuatan zina. Tentu saja lebih giat bekerja dan berusaha agar dapat menjemput rizkinya untuk segera menikah. Argumentasi yang digunakan pada keadaan ini adalah QS. An-Nur ayat 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ…..
Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…..
Ketiga adalah Makruh. Kondisi ini berlaku bagi orang yang belum tidak diberlakukan hajat untuk menikah. Yaitu mereka yang belum memiliki keinginan untuk menikah sekaligus tidak memiliki kecukupan nafkah dan persiapan untuk menikah baik mahar, atau nafkah materi untuk menghidupi pasangan.
Keempat Al-Afdhal Tarkuhu (lebih utama ditinggalkan), yaitu berlaku bagi orang-orang yang sudah memiliki kesiapan baik mahar, nafkah ataupun materi, tetapi ia tidak masuk dalam kategori yang berhajat untuk menikah seperti sedang menuntut ilmu atau fokus pada ibadah. Orang dalam kondisi seperti ini lebih diutamakan untuk menuntut ilmu karena jika ia menikah, maka ia akan teralihkan fokusnya.
Kelima, Al-Afdhal Fi’luhu (lebih utama dilakukan), yaitu orang-orang yang sedang tidak disibukkan dengan menuntut ilmu ataupun ibadah sedangkan ia memiliki kecukupan untuk melaksanakan pernikahan meskipun pada hakikatnya dia tidak membutuhkannya. Hal ini dikarenakan agar ia waktu luangnya tersebut tidak menjadikannya melakukan hal-hal yang diinginkan oleh agama.
Wallahu A’lamu bis Showab.
Rekomendasi
![](https://bincangmuslimah.com/wp-content/uploads/2019/07/BM-Panjang-e1563862084304.png)