BincangMuslimah.Com – Fenomena tabdi’ (menganggap orang atau golongan lain ahli bid’ah) tidak muncul secara tiba-tiba di tengah masyarakat muslim. Fenomena yang mengakar di tengah masyarakat awam ini dikhawatirkan akan tumbuh merajalela. Karena, bagi mereka, segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi termasuk ke dalam golongan bid’ah. Di sinilah peran pentingnya bermazhab dalam beragama.
Secara garis besar, hal ini disebabkan beberapa faktor yang terjadi di masyarakat. Pertama, pemahaman yang tidak komprehensif terhadap nas-nas agama, jauhnya masyarakat dari turats atau kekayaan intelektual yang sudah ada dan diwariskan oleh para ulama kita juga menjadi faktor munculnya fenomena tersebut. Kedua, dapat kita temui pada orang-orang yang menolak untuk bermazhab (Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i, Imam Hanafi). Mereka menuntut pemahaman secara langsung terhadap Alquran dan sunah, tanpa melalui ulama yang ilmunya sudah mumpuni. Dengan jargonnya, “Kembali pada Alquran dan sunah”.
Dalam kitab yang diterbitkan oleh Dar al-Ifta Mesir, Dalil al-Muslimin ila tafnid afkar al-Mutaharrifin, golongan ahli bid’ah menolak metodologi ulama mazhab, karena hal ini tidak ada di zaman Nabi. Dalam kitab tersebut, Muhammad Ied Abbasi mengatakan “Seorang Muslim jika ingin membuat kemaslahatan harus kembali ke agama Islam yang benar, yang merujuk pada Alquran dan Sunnah”. Mereka juga meyakini bahwa jika ada seorang bertaklid kepada mazhab, mereka tidak termasuk umat yang patuh terhadap syariat Islam. Sedangkan seseorang yang tidak patuh terhadap syariat Islam, mereka dikategorikan orang yang tidak beruntung.
Padahal, kita semua tahu bahwa para ulama terdahulu mengambil kesimpulan sebuah permasalahan dalam mazhab mereka bersumber Alquran dan sunah. Apalagi, para ulama mazhab tersebut sudah memahami ilmu syariah secara mendalam, dibantu dengan kecakapan mereka akan ilmu-ilmu alat. Lebih dari itu, para ulama terdahulu dikenal dengan keikhlasan dan sifat wataknya, pun pada kenyataannya mereka lebih dekat dengan masa Nabi saw. dan sahabat. Maka dari itu, pandangan-pandangan mereka terhadap suatu permasalahan memang layak untuk diikuti. Mengikuti para ulama tersebut sama saja dengan mengikuti Alquran dan sunah.
Lalu, jika masih ada yang menolak untuk mengikuti pendapat ulama dan mengajak kembali pada Alquran dan sunah, apakah mereka mampu memahami Alquran dan sunah secara utuh sehingga tidak perlu memakai kacamata ulama? Apakah mereka sudah mencapai derajat mujtahid? Jika memang demikian, tidak akan ada salahnya jika langsung kembali pada Alquran dan sunah, dengan syarat memenuhi kriteria menjadi mujtahid, menghormati turats ulama sebelumnya, dan membantahnya dengan kritik yang konstruktif.
Namun apabila sebaliknya, dalam artian masih belum mampu memahami dan menyimpulkan sebuah hukum secara langsung dari Alquran dan sunah dan hanya memahami Alquran dan sunah dari terjemahan, saya rasa kita membutuhkan seorang ulama yang menuntun pemahaman agama. Agar kemudian tidak kaku dan serampangan dalam menghukumi sesuatu. Karena kita tahu, tidak semua permasalahan disebutkan secara langsung dalam Alquran dan sunah. Sebagaimana dalam surah an-Nahl; 43,
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Dari ayat di atas, bisa dipahami tentang pentingnya bermazhab dalam beragama. Umat muslim diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk mengimani para mazhab, yang mana mereka lebih mengetahui dan paham dalam memahami Alquran dan Sunah. Dengan cara ini, tidak lagi saling menghukumi antar umat Islam yang dapat menimbulkan perpecahan.