BincangMuslimah.Com – Puasa adalah ibadah yang wajib diqadha bila ditinggalkan. Penggantian puasa ada tiga macam, yaitu qadha, fidyah, dan kafarat. Ketiganya dilaksanakan tergantung masalah dan ketentuannya yang berbeda. Adapun seserang yang sudah meninggal dan puasanya tak sempat dibayar menimbulkan problematika dan pertanyaan, apakah boleh menggantikan puasa orang yang sudah meninggal? Atau bagaimana cara mengganti puasanya?
Hutang puasa dari seseorang yang sudah meninggal wajib dibayar. Hal yang menjadi berbeda dari hasil konsensus ulama adalah cara membayarnya, sebagian ulama berpendapat cukup dengan membayar fidyah sebesar satu mud (kurang lebih 600 gram) per harinya. Sebagian lainnya berpendapat wali dari mayit bisa menggantikannya untuk berpuasa. Masing-masing memiliki pijakannya sendiri.
Pendapat pertama, yaitu penggantian dengan fidyah saja dengan memberi makan orang miskin sebesar 1 mud makanan pokok. Ini adalah apa yang ditetapkan oleh ulama Mazhab Syafi’i dan ulama mazhab lainnya yang tertulis dalam Syarh Sunan Abu Daud li Ibni Ruslan:
فإن الجديد من مذهبه أن من مات بعد التمكن لا يصوم عنه وليه، بل يخرج من تركته لكل يوم مد من طعام وصححه معظم أصحابه وهو مذهب مالك وأبي حنيفة، لكن اختار النووي الصيام عنه، وذكر أن جماعة من محققي الأصحاب الجامعين بين الحديث والفقه اختاروه
Artinya: Dalam qoul jadid dari Mazhab Imam Syafi’i, sesungguhnya siapa saja yang wafat setelah memungkinkannya untuk mengqadha maka tidaklah berlaku untuk digantikan puasanya oleh walinya, akan tetapi diganti dengan mengeluarkan harta warisannya atau peninggalannya sebesar satu mud untuk perharinya dair makanan pokok. Pendapat inilah yang dibenarkan oleh ulama beberapa ulama seperti Imam Malik dan Abu Hanifah. Akan tetapi Imam Nawawi cenderung berependapat untuk menggantikannya dengan puasa. Dan disebutkan bahwa sekelompok ulama dari kalangan fikih dan hadis mengikuti Imam Nawawi.
Penjelasan tersebut adalah syarah atau keterangan dari hadis Aisyah yang menyatakan bahwa puasanya seseorang yang wafat bisa digantikan oleh walinya:
عن عروة بن الزبير عن عائشة: أن النبي قال: من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Artinya: Dari Urwah bin Zubair dari Aisyah, bahwa Nabi Saw bersabda: barang siapa yang mati dan ia menanggung hutang puasa maka walinya bisa menggantikannya.
Namun dalam jalur periwayatannya terdapat Ibnu Lahi’ah yang dijustifikasi sebagai periwayat hadis yang lemah. Maka hadis ini pun dianggap dha’if. Meski begitu ia tetap dijadikan pijakan oleh sebagian ulama. Hadis tersebut menghasilkan dua pendapat, yaitu mengqadha puasa yang bisa digantikan oleh walinya atau dengan membayar fidyah saja.
Sebab periwayatan hadis yang lemah ini, mayoritas ulama berpendapat untuk membayar puasa dengan fidyah saja. Akan tetapi ketentuan mengganti puasa ini hanya berlaku bagi yang sebenarnya sempat mengganti puasanya tapi belum menggantinya. Adapun yang tak sempat menggantinya sebab sempitnya waktu, maka tidak wajib menggantinya, menurut pendapat Syekh Wahbah Zuhaili dan ulama lainnya.
Tapi, bagi yang menjadikan hadis riwayat Aisyah sebagai hujjah untuk menggantikan puasa orang yang sudah meninggal oleh walinya, berdasarkan keumuman hadis ini yang tidak menyebutkan apakah itu puasa nazar atau puasa ramadhan. Sedangkan ulama yang membantahnya menyebutkan bahwa hadis tersebut berlaku untuk puasa nazar saja. berdasarkan hadis Nabi dari Ibnu Abbas:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إلى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قالَ: أَرَأَيْتِ لو كانَ علَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ، أَكانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟ قالَتْ: نَعَمْ، قالَ: فَصُومِي عن أُمِّكِ.
Artinya: Bahwa ada seorang perempuan datang kepada Nabi dan bertanya: sesunguhnya ibuku wafat dan ia hutang puasa nazar, apakah aku harus berpuasa untuknya? Nabi bersabda: menurutmu, jika ibumu memiliki hutang yang harus kamu bayar, apakah kamu akan membayarnya? Perempuan itu menjawab, Ya, Nabi bersabda: maka berpuasalah untuknya. (HR. Muslim)
Hadis ini berstatus shahih dan dijadikan penjelasan hadis Aisyah yang masih umum. Begitu juga ulama yang membantah kebolehan menggantikan puasa orang yang sudah meninggal oleh wali dari mayit beranggapan bahwa puasa adalah ibadah yang sifatnya individual, seperti shalat hingga tak bisa digantikan. Sedangkan ulama yang berpendapat bolehnya qadha puasa dilakukan oleh walinya adalah dengan merujuk pada keumuman hadis sahabat Aisyah dan mengqiyaskannya dengan haji yang bisa diwakilkan.
Melihat kedua pandangan ini, jika mengikuti pendapat ulama mayoritas, maka pendapat pertama lebih kuat. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa puasa mayit digantikan dengan fidyah sebesar satu mud per hari. Adapun jika ingin mengikuti pendapat kedua maka sah saja sebab juga terdapat dalil yang merujuk ke sana. Masing-masing memiliki landasannya. Wallahu a’lam bisshowab.