BincangMuslimah.Com – Dalam proses dialogis antara agama dan hak asasi manusia seringkali terjadi pertentangan dan debat kusir yang tidak terelakan. Namun jika melihat pemikiran humanisme Gus Dur, keduanya bisa berjalan beriringan dan seirama. Islam dengan misi sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamain sarat dengan nilai-nilai humanisme universal, seperti pengakuan akan kedudukan tinggi atas manusia, prinsip persamaan (al-musawat), kebebasan (hurriyah), pertanggungjawaban publik (al-mas’uliyyat), dan musyawarah (syura).
Gus Dur dalam tulisannya ‘Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam’ menyatakan bahwa ajaran Islam walaupun bersumber dari wahyu, memiliki orientasi kemanusiaan yang jelas, yang tertuang dalam serangkaian ajaran agama yang mencakup hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlak).
Ketiganya tersebut memiliki nilai kemanusiaan yang tampak dalam prinsip-prinsip kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persamaan derajat di mata hukum, perlindungan dari kezaliman, dan penjagaan atas hak orang yang lemah. Penghayatan atas nilai kemanusiaan tersebut merupakan inti dari ajaran Islam. Oleh karenanya antara kemanusiaan dan agama tidak boleh dipertentangkan.
Agama harus disandingkan dengan kemanusiaan agar tidak dijadikan senjata fundamentalistik yang merusak kemanusiaan. Begitupun kemanusiaan yang dalam bahasa Gus Dur disebut dengan kesejahteraan rakyat, tidak boleh dibenturkan dengan tauhid dan syariah.
Hal ini karena manifestasi dari keduanya akan bermuara pada kemaslahatan manusia, baik individu maupun masyarakat, di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya humanisme yang dijunjung Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan nafas Islam, bukan humanisme yang berhadap-hadapan dengan agama.
Dalam berbagai pemikirannya, Gus Dur selalu meyakini bahwa Islam memperjuangkan kemanusiaan secara menyeluruh tanpa peduli asal-usul etnik dan batas primordialisme. Hal ini selaras dengan beberapa alasan yang dikemukan Gus Dur, di antara:
Pertama. Penciptaan dan penempatan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat mulia, secara eksplisit dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an antara lain pada surat At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat 70, dan Al- Baqarah ayat 39. Pengakuan akan kedudukan tinggi dan kemuliaan manusia juga dituangkan dalam hak-hak dasar manusia.
Kedua. Penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah tata hukum (syariah) yang bersifat universal sesungguhnya memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan (insaniyyah). Nilai-nilai tersebut terdapat pada prinsip keadilan,persamaan kedudukan di hadapan hukum, terbebas dari kezaliman, dan perlindungan hak atas orang lemah.
Dengan demikian, hak asasi manusia secara konseptual sesungguhnya sejalan dengan prinsip universal ajaran Islam yang memberikan penghargaan dan pemuliaan terhadap manusia. Berdasarkan hal tersebut, jika terdapat ajaran keagamaan yang bertentangan dan berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, maka sudah seharusnya hal tersebut ditafsirkan ulang, karena prinsip ajaran Islam menolak setiap bentuk kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama.
Fikih Humanisme Gus Dur
Komitmen Gus Dur terhadap humanisme universal sangat tampak dalam setiap pemikiran dan perspektif yang melatarbelakangi tindakan-tindakannya dalam merespon berbagai permasalahan kemanusiaan. Ada beberapa contoh tindakannya seperti yang terangkum dalam buku Fiqih Gus Dur karya Dr. Johari (hlm 51).
Pertama. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan berimplikasi pada penghargaannya kepada kebebasan berpikir dan bertindak bagi setiap orang sesuai dengan kualitas kemanusiaannya. Hal tersebut bisa dilihat dari keterlibatannya pada forum demokrasi, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukan sebagai agama resmi, dan lain sebagainya.
Kedua. Penghargaan terhadap hak asasi manusia secara konkret terwujud dalam pandangannya tentang demokrasi, pluralisme, dan penolakan terhadap setiap bentuk kekerasan. Orientasi baru dalam memahami Al-Qur’an sebagai sumber tertinggi dan pedoman Muslim dalam berkehidupan harus diarahkan dalam kerangka menegakkan hak asasi manusia. Oleh karenanya, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesamaan manusia dihadapan Undang-Undang dan solidaritas hakiki.
Ketiga. Visi politik Gus Dur diarahkan pada kepentingan yang lebih luas, yaitu kemanusiaan dan kebangsaan. Dia bukan seorang ideolog yang mencita-citakan terbentuknya masyarakat Islam secara total, bukan pula seorang sekuler yang memisahkan keduanya secara total. Dia tidak memisahkan politik dan Islam. Oleh karenanya visi politik Gus Dur senantiasa menghindarkan diri dari formalisasi agama dalam negara, namun lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
Semua pemikiran dan tindakan Gus Dur tersebut sudah memberikan penggambaran secara jelas, bahwa agama dan hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang bisa berjalan seirama. Jika ada diantaranya keduanya yang bertentangan, maka pengkajian ulang atas penafsiran teks keagamaan perlu dilakukan.