BincangMuslimah.Com – Tiap kali menemukan berita tentang kekerasan, hati saya hancur berkeping-keping. Alangkah mudah membayangkan nasib korban yang terluka penuh ketakutan. Mereka menanggung dampak duka dan trauma atas kejinya ulah pelaku kekerasan.
Kekerasan atau violence adalah tindakan menyerang fisik maupun mental seseorang. Bentuknya bukan hanya perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan secara fisik, tetapi termasuk nonfisik seperti pelecehan, ancaman, maupun paksaan yang mengganggu suasana batin.
Komnas Perempuan mencatat sebanyak 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) terjadi pada tahun 2024. Rata-rata kasus yang diadukan sebesar 16 kasus/hari. Tarik mundur sedikit, di tahun 2023, Global Women Peace and Security Index (WPS) melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat 84 dari 177 negara yang aman bagi perempuan.
Tentu saja, pekerjaan rumah negara ini masih bertumpuk dalam menciptakan kehidupan sosial yang setara bagi semua kalangan.
Kekerasan seksual, apa saja dampaknya?
Sebagai orang awam, kita mungkin bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi korban kekerasan; apa yang sesungguhnya menimpa mereka. Yang lebih kritis lagi, kita meragukan pengalaman mereka sehingga berujung pada pengabaian. Berikut adalah beberapa dampak nyata dan serius yang dialami oleh korban kekerasan.
Pertama, cedera fisik, infeksi atau penyakit menular seksual (PMS), hingga kehamilan. Luka fisik pada korban adalah sesuatu yang bisa kita amati dengan mudah. Contohnya seperti memar, bengkak, lapisan kulit yang robek, dan nyeri.
Bila korban terlibat dalam kontak genitalia, maka ia dapat mengalami penyakit menular seksual yang terinfeksi oleh pelaku. Penyakit ini biasa ditandai dengan ruam atau lepuh, keputihan, dan nyeri di area kelamin.
Peristiwa kekerasan seperti perkosaan juga dapat menyebabkan kehamilan. Risiko kehamilan termasuk situasi terberat yang dihadapi oleh korban.
Kedua, perasaan dan emosi. Kekerasan membuat korban sangat rentan dengan berbagai perasaan dan emosi. Itu semua valid.
Suatu waktu, saya menghadapi pelecehan dan amat ketakutan. Ada rasa tak berdaya sekaligus terhina yang mencengkeram kesadaran. Beberapa korban mengalami emosi marah, panik, bingung, stres, ingin muntah, sulit bernapas, kaku atau lamban dalam merespons, hingga putus asa dan ingin mengakhiri hidup.
Kekerasan bisa mengakibatkan trauma
Kekerasan bisa menjadi peristiwa traumatik bagi korban. Kita mungkin pernah mendengar istilah gangguan stres pasca-trauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Gangguan tersebut berkembang pada orang yang mengalami kejadian traumatis termasuk kekerasan dengan segala bentuknya. Siklusnya berupa re-experiencing (mengalami kembali peristiwa melalui kilas balik atau mimpi buruk), menghindar dari apa pun yang mengundang trauma, memiliki keyakinan negatif, dan gejala hyperarousal (waspada akibat mengingat kejadian setelah lolos dari bahaya).
Bagi korban kekerasan, dunia tak akan pernah lagi sama. Hal itu tercermin melalui perilaku ketika mereka sulit percaya pada orang lain. Pengalaman kekerasan yang membuat korban mengubur suaranya adalah bentuk konkret betapa berat dan dalamnya trauma yang dirasakan.
Membersamai langkah korban
Setelah mengetahui dampak kekerasan, kita akan beralih pada upaya menghadapi korban. Hal pertama dan paling penting untuk kita pahami bahwa korban adalah subjek aktif. Mereka memiliki kuasa untuk berpikir dan bertindak. Sebagai outsider, peran kita bukan mendominasi. Keputusan terbaik tetap ada di tangan mereka.
Jika kita termasuk orang dekat, mulailah dengan menjadi pendengar yang baik. Hadirlah di momen tersebut dengan mendengarkan secara saksama. Walau kita punya banyak pertanyaan, upayakan agar tidak menyela cerita. Kehadiran kita sebagai pendengar sangatlah bermakna.
Selanjutnya, hindari sikap menyalahkan. Kekerasan terjadi bukan karena ulah korban, tetapi budaya yang melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Dalam hal ini, kesalahan dan tanggung jawab ada pada pelaku. Tidak pantas menyalahkan korban atau membuatnya merasa bersalah. Tugas kita meyakinkan bahwa mereka tak perlu merasa malu, bersalah, dan menyalahkan dirinya.
Perlihatkan sikap percaya pada korban. Kendati pengalaman tersebut tidak pernah menimpa kita. Menjadi korban dan melepaskan cerita bukan sesuatu yang mudah. Mengingat kembali peristiwa kekerasan bisa amat menyedihkan dan menyakitkan. Hal itu juga yang membuat mereka menunda bercerita. Mereka khawatir mendapat respons dihakimi, disalahkan, atau diragukan.
Kita juga bisa mencari tahu apa kebutuhan korban, menawarkan bantuan, dan menghubungkan mereka dengan layanan pendampingan. Pastikan bahwa korban memang setuju didampingi. Inisiatif kita penting, namun jangan sampai bersifat memaksa.
Selain itu, pastikan korban ada pada kondisi aman dari pelaku. Hal itu untuk mencegah terjadinya kekerasan berulang dan membantu korban memproses trauma.
Membersamai korban butuh kesabaran. Jika mereka percaya kepada kita, hargai dengan tidak menggali cerita lebih banyak. Korban juga punya boundaries atau batasan. Jangan mendikte apa yang sebaiknya dilakukan. Sebab, tak seorang pun boleh diminta melakukan sesuatu sebelum mereka siap.
Islam bukan agama kekerasan
Al-Qur’an yang menjadi pedoman, Muhammad Saw. yang membawa tuntunan; tak satu pun pernah mencontohkan kekerasan sebagai akhlak. Dalam asmaul husna, Allah memperkenalkan nama yang paling pertama sebagai Ar-rahman dan Ar-rahim, Mahapengasih dan Mahapenyayang. Islam sudah semestinya dipandang identik dengan kasih sayang dan penghormatan atas keberagaman makhluk.
Sikap yang kita kembangkan dalam menjalankan hablun minannas adalah peduli, tolong-menolong, dan menyingkirkan keburukan agar tiada yang tersakiti. Lihat bagaimana QS. at-Taubah ayat 71 menyebutkan hal itu, “Dan, orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar … ”.
Status laki-laki dan perempuan sama sebagai pemilik iman. Dasar kesetaraan terletak pada kedudukan tersebut. Di hadapan Islam yang sarat nilai-nilai mulia dan memanusiakan, superioritas yang dilanggengkan menjadi tak berarti
1 Comment