BincangMuslimah.Com- Beberapa waktu lalu jagat media sosial Indonesia penuh dengan cuplikan video pernikahan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Wajah mereka terlihat semringah, namun tampak masih sangat belia. Tubuh mereka kecil dalam balutan busana pengantin dewasa.
Melalui berbagai pemberitaan, diketahui mempelai perempuan masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan mempelai laki-laki merupakan siswa sekolah menengah kejuruan (SMK).
Ada yang menyayangkan pernikahan usia anak tersebut. Tetapi, ada reaksi publik yang justru memuji dan mengidolakan pasangan belia itu. Kolom komentar dalam unggahan viral itu ramai dengan ucapan selamat, emoji hati, bahkan harapan agar hubungan mereka “langgeng sampai kakek-nenek”.
“Bikin iri! Masih muda udah halal,” atau ‘jomblo menangis melihat’ ini. Ada pula komentar dengan maksud guyonan yang turut meramaikan video tersebut. Konten tersebut cepat menyebar dan ditonton jutaan kali, bahkan dipublikasikan ulang oleh akun gosip besar. Mereka bukan saja menjadi viral, tapi menjadi ‘selebritis dadakan’.
Di Balik “Romantika”, Ada Realita yang Kelam
Pernikahan anak bukan cerita baru di Indonesia. Namun, sayangnya fenomena ini tampil dalam bingkai “kisah cinta lucu-lucuan” dan ‘perayaan’ secara masif di ruang digital. Di balik layar ponsel, masyarakat seakan lupa bahwa ini bukan sinetron remaja. Mereka adalah anak-anak, punya hak bermain, belajar, dan berkembang. Semua itu justru harus terhenti oleh konstruksi sosial bernama “pernikahan dini”.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2024, sebanyak 5,90 persen perempuan Indonesia usia 20–24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Yang ironis, justru semakin sulit memberantas tren ini ketika publik mulai menormalisasi, bahkan mengagumi praktiknya.
Ruang digital hari ini bukan hanya tempat berbagi informasi, tetapi juga arena pembentukan opini publik secara instan. Mengemas pernikahan anak dengan gaya sinematik, dengan menyisipkan musik romantis, lalu jutaan orang menyukainya. Pesan yang sampai bukan tentang bahayanya praktik pernikahan anak, tetapi tentang betapa lucunya mereka.
Hal ini semakin parah oleh rendahnya literasi digital dan literasi hukum masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa pernikahan anak bisa berdampak jangka panjang. Mulai dari risiko kematian ibu muda, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan antar generasi. Namun narasi yang viral seringkali bukan narasi edukatif. Yang disukai adalah sensasi, bukan substansi.
Yang juga menyedihkan, ketika pihak berwenang atau pegiat anak menyuarakan kekhawatiran, sebagian masyarakat justru membela si “pasangan viral”. Dengan menggunakan alasan yang beragam: “Sudah saling cinta”, “Lebih baik menikah daripada zina”, hingga “Mereka sudah siap.”
Respons ini menunjukkan bahwa sebagian besar publik masih melihat pernikahan anak sebagai urusan pribadi, bukan sebagai isu hak anak. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka yang menyuarakan kritik justru mendapat serangan sebagai “terlalu ikut campur”.
Edukasi Tidak Hanya untuk Anak, Tetapi Juga Orang Tuam dan Komunitas
Praktik ini masih dibenarkan atas nama budaya, moralitas, bahkan agama. Dalam berbagai kasus, pernikahan anak terjadi sebagai respons terhadap kehamilan tidak diinginkan, kemiskinan, atau tekanan sosial untuk menjaga “kehormatan” keluarga.
Seharusnya masyarakat mempertanyakan, kenapa mereka menikah muda, bukan ikut bersorak seperti sedang menyaksikan drama remaja.
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil. Jika kita membiarkan pernikahan anak tampil sebagai tontonan dan menyambutnya sebagai selebrasi, maka generasi mendatang akan belajar bahwa menjadi dewasa itu hanya soal viral, bukan kesiapan fisik, mental, dan sosial.
Selain itu, pemberian edukasi bukan hanya pada anak, tetapi juga orang tua dan komunitas. Literasi digital dan gender harus menjadi bagian dari kurikulum yang merata.
Revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 memang sudah meningkatkan umur minimal perkawinan dari 16 menjadi 19 tahun untuk perempuan. Tapi celah hukum tetap ada. Dispensasi kawin telah menjadi pintu belakang yang dilewati dengan mudah. Rasa-rasanya, negara perlu memperketat mekanisme dispensasi pernikahan, agar tidak menjadi jalan pintas yang disalahgunakan.
Pernikahan anak bukan urusan pribadi atau keluarga semata. Ini adalah bom waktu yang mengancam generasi kita di masa depan. Negara, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat harus berdiri di barisan yang sama, menghapus pernikahan anak tanpa kompromi. Karena jika memaksa anak-anak jadi dewasa terlalu cepat, maka bangsa ini akan selamanya gagal menjadi dewasa secara sosial dan moral.
Link
5 Comments