BincangMuslimah.Com– El-Bukhari Institute melanjutkan peran aktifnya dalam memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia melalui advokasi hasil riset bertajuk “Reformulasi Moderasi Beragama: Menuju Harmoni Berbasis Keadilan dan Hak Asasi Manusia”.
Advokasi hasil riset moderasi beragama ini dilakukan dengan mendatangi dua institusi strategis: Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sebagai bagian dari upaya menguatkan kebijakan publik yang menjunjung tinggi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Program Moderasi Beragama (MB) telah menjadi salah satu kebijakan unggulan pemerintah dalam bidang keagamaan sejak 2019. Namun, El-Bukhari Institute melalui riset lintas wilayah yang dilakukan di empat provinsi – Aceh, Banten, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur – menemukan bahwa di balik narasi keberhasilan yang sering digaungkan pemerintah, masih banyak tantangan mendasar yang dihadapi dalam implementasinya di lapangan.
Riset ini menemukan bahwa masih terjadi praktik diskriminasi terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas, pembatasan hak ibadah, serta inkonsistensi antara regulasi pusat dan daerah. Oleh karena itu, El-Bukhari Institute menilai perlunya reformulasi konseptual dan kebijakan terkait Moderasi Beragama agar tidak berhenti pada slogan, tetapi menjadi instrumen negara dalam menjamin hak konstitusional seluruh warga negara.
Langkah advokasi ini dimaksudkan untuk menggeser wacana moderasi dari sekadar upaya mencegah ekstremisme, menuju agenda yang lebih progresif: menegakkan keadilan sosial, menjamin kebebasan beragama, dan membangun kohesi sosial berbasis hak asasi manusia.
Advokasi ke Kementerian Agama: Mendorong Evaluasi Internal dan Kolaborasi Pencegahan Dini
Dalam pertemuan strategis dengan Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan Direktorat Bimas Islam Kementerian Agama, tim peneliti El-Bukhari Institute mempresentasikan temuan utama riset dan menyerahkan dokumen policy brief yang menyusun rekomendasi reformulatif.
Dedi Slamet Riyadi, M.Ag., Kasubdit Bina Paham Konflik Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan [BPKI dan PKK], Kemenag RI, yang menerima kunjungan advokasi riset moderasi beragama tersebut, menyampaikan apresiasinya atas kontribusi masyarakat sipil dalam menguji validitas klaim-klaim keberhasilan program MB. Ia menilai bahwa laporan El-Bukhari Institute berfungsi sebagai “cermin kritis” bagi pemerintah, sekaligus sebagai bahan evaluasi internal di tubuh Kemenag.
Salah satu poin penting dalam diskusi ini adalah temuan adanya diskriminasi terhadap komunitas keagamaan di sejumlah daerah. Ia menegaskan bahwa resistensi terhadap kelompok tertentu masih cukup kuat, dan kondisi ini menjadi tantangan serius dalam mewujudkan prinsip inklusivitas dalam praktik moderasi beragama.
Lebih jauh lagi, Kasubdit BPKI dan PKK ini menyatakan bahwa hasil riset tersebut bisa dikolaborasikan untuk menguatkan sistem deteksi dini dan pencegahan dini konflik keagamaan di daerah, melalui pelatihan penyuluh agama dan program-program lintas iman seperti SPARK.
Kang Dedi – sapaan akrab beliau – juga menegaskan pentingnya komunikasi berkelanjutan antara masyarakat sipil dan pemerintah.
“Kami berharap El-Bukhari Institute dan jaringan masyarakat sipil lainnya terus menyampaikan evaluasi berbasis data dari bawah. Ini penting untuk memastikan kami tidak hanya melihat dari atas ke bawah, tetapi juga temuan kritis masyarakat sipil di bawah,” ungkapnya, Senin [14/7/2025].
Advokasi ke Kementerian Dalam Negeri: Menantang Ketimpangan Regulasi dan Praktik Diskriminatif
Langkah advokasi El-Bukhari Institute juga menyasar Subdit Kerukunan Antaragama, Antarras, Antarsuku dan Kepercayaan di Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri. Dalam audiensi tersebut, Hartono, M.A.P., selaku Kasubdit menyambut baik laporan riset dan policy brief yang disampaikan.
Salah satu fokus utama advokasi di forum ini adalah soal regulasi diskriminatif di tingkat daerah, terutama yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadat. El-Bukhari Institute mencatat bahwa banyak peraturan daerah (perda/perkab/perkot) yang justru memperkuat segregasi dan mempersempit ruang ekspresi keyakinan kelompok-kelompok minoritas.
Hartono menjelaskan bahwa meskipun upaya harmonisasi regulasi sudah dilakukan, prosesnya tidak mudah karena keterkaitannya dengan kewenangan otonomi daerah. Meski demikian, Kemendagri menyatakan terbuka untuk bekerja sama dengan masyarakat sipil guna mengawal proses harmonisasi regulasi di tingkat lokal.
“Kami sangat mendorong masyarakat sipil di daerah untuk aktif terlibat dalam public hearing dan forum-forum perumusan kebijakan daerah. Kami butuh mitra dari bawah,” kata Hartono.
Ia juga menekankan bahwa pada prinsipnya Kemendagri mengakui bahwa hak beragama, termasuk beribadah di ruang privat, adalah hak asasi manusia yang tidak bisa diganggu gugat. Bahkan, perubahan nomenklatur Subdit dengan penambahan kata “Kepercayaan” menjadi simbol penting dari komitmen untuk mengakui eksistensi penghayat kepercayaan yang selama ini marjinal.
Advokasi sebagai Upaya Memperkuat Akuntabilitas Negara
Melalui advokasi berbasis data ini, Direktur El-Bukhari Institute, Abdul Karim Munthe menegaskan bahwa Moderasi Beragama tidak cukup hanya dikampanyekan. Tetapi harus ditransformasikan menjadi sistem dan regulasi yang berpihak pada keadilan dan kesetaraan. “Negara perlu hadir bukan hanya sebagai penengah konflik, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak warga. Terutama kelompok minoritas yang kerap menjadi korban diskriminasi, tuturnya, Selasa, [15/7/2025]
Advokasi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong akuntabilitas dan transparansi kebijakan negara. Dalam konteks ini, El-Bukhari Institute berupaya menjadi jembatan antara suara masyarakat akar rumput dan pembuat kebijakan.
Lebih jauh, Abdul Karim Munthe menyampaikan bahwa reformulasi MB harus memprioritaskan tiga prinsip utama:
1. Keadilan substantif bagi semua pemeluk agama dan kepercayaan.
2. Pengakuan penuh terhadap hak berkeyakinan sebagai bagian dari HAM.
3. Pembaruan regulasi yang mencegah praktik eksklusi dan diskriminasi.
“Advokasi kami adalah bagian dari jihad intelektual dan sosial untuk memastikan bahwa setiap warga Indonesia – tanpa memandang agama, suku, atau kepercayaannya – bisa hidup setara dalam ruang negara,” tegasnya, Selasa [15/7/2025].
Lebih jauh, Abdul Karim Munthe menjelaskan advokasi yang dilakukan El-Bukhari Institute ke Kemenag dan Kemendagri menjadi langkah awal dari rangkaian upaya sistematis untuk mendorong reformulasi kebijakan moderasi beragama yang inklusif, adil, dan berbasis HAM.
Ini adalah seruan moral dan politik untuk menjadikan moderasi bukan sekadar alat stabilitas, tetapi sebagai sarana negara dalam menjamin ruang hidup yang adil bagi seluruh anak bangsa.
Ke depan, El-Bukhari Institute berkomitmen untuk terus menjalin kolaborasi lintas sektor, memperluas kanal advokasi, dan mengawal implementasi kebijakan di tingkat lokal. “Sebab, hanya dengan keberanian untuk bersikap kritis dan berkolaborasi lintas aktor, Indonesia bisa benar-benar menuju harmoni yang adil dan berkeadaban,” tutupnya
Rekomendasi

26 Comments