BincangMuslimah.Com – Kedudukan perempuan di peradaban Roma sudah mulai membaik. Mereka mendapatkan sebagian kebebasannya dan hak-hak. Ini merupakan hasil perkembangan pemikiran Plato. Akan tetapi kebebasan yang didapatkan perempuan tidaklah penuh. Perempuan tetap tunduk kepada laki-laki, saat ia lajang ia tunduk pada ayahnya sebagai kepala keluarga. Dan setelah menikah ia tunduk kepada suaminya. Adapun budak perempuan tunduk kepada tuannya secara mutlak. Hanya sedikit mengenai sejarah kedudukan perempuan dalam peradaban Romawi kuno yang dibahas oleh Dr. Ayyub Abu Dayah dalam buku al-Hijab fii at-Tarikh.
Kemudian ia melanjutkan penelusurannya di ajaran Kristen. Dalam ajaran Kristen, Tuhan menjelma sebagai Yesus Kristus yang datang ke bumi untuk menyelamatkan perempuan. Pada masa Yesus lahir, kondisi perempuan sangat terbelakang dan tidak mendapatkan hak-haknya. Dalam ajarannya ia menghormati para janda dan ibu yang sudah tua. Yesus berfirman:
“siapapun di antara kamu yang tidak memiliki dosa maka lemparlah kesalahan itu dengan batu.” Maksudnya turunnya Tuhan dalam bentuk Yesus adalah bentuk pembelaan kepada manusia dan untuk menghapus dosa-dosa mereka.
Ajaran Kristen mulai berbeda dalam ajaran dan coraknya. Tidak seperti apa yang disebutkan dalam ajaran Yahudi yang bernilai patriarki, ataupun sejarah-sejarah peradaban tahun-tahun sebelumnya ribuan tahun yang lalu. Ajaran Yesus diyakini sebagai penyelamat martabat perempuan. Akan tetapi, bagi penulis, apa yang dikatakan Dr. Ayyub dalam bukunya tidaklah sepenuhnya benar. Kita bisa melihat, bagaimana aktivitas perempuan di masyarakat dan kegiatan beragama beserta aturan-aturannya.
Kemudian ditemukan ajaran mengenai hijab dalam ajaran Kristen. Seperti yang dikutip oleh Dr. Ayyub dari “Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus”. Terdapat sanksi bagi perempuan yang tidak menutup kepalanya saat beribadah:
“dan setiap perempuan yang beribadah atau menyampaikan pesan-pesan kenabian sedangkan kepalanya terbuka maka ia akan mempermalukan dirinya. Seolah-olah ia memotong rambutnya. Jika seorang tidak menutup kepalanya maka potonglah rambutnya.”
Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Korintus juga termaktub pertanyaan retoris:
“Koreksilah diri anda sendiri! apakah pantas seorang perempuan beribadah kepada Tuhan dan dia tidak menggunakan penutup kepala?”
Perempuan juga dilarang untuk berbicara saat berada di gereja:
“berbaliklah (berpikirlah), jika seorang perempuan hendak belajar sesuatu maka bertanyalah kepada lelaki mereka (suami, ayah, kakak) saat berada di rumah. Sesungguhnya, di antara perbuatan yang memalukan adalah ketika perempuan berbicara di gereja.”
Ajaran-ajaran tersebut menjadi bukti bahwa lelaki menjadi jalan dan perantara bagi perempuan untuk mencapai pengetahuan. Meskipun pada ajaran Kristen, kondisi dan posisi perempuan menjadi jauh lebih baik daripada apa yang diajarkan Yahudi, akan tetapi perempuan tetap mengalami subordinasi. Perempuan tidak diperbolehkan belajar di unversitas di Eropa seperti laki-laki.
Lalu beratus tahun kemudian saat dunia mulai berkembang, barulah perempuan diperbolehkan untuk menempuh pendidikan dan sekolah, tepatnya pada tahun 1920. Setelah itu, kehidupan perempuan di Eropa mulai maju dan berkembang setelah melalui proses perjuangan yang panjang.
Begitulah sejarah hijab dan perempuan sebelum datangnya Islam. Pada umumnya, Hijab menjadi penentu kelas sosial perempuan di setiap masa sebelumnya. Dan juga menjadi pelindung dari pelecehan seksual akibat sistuasi dan keamanan yang tidak stabil akibat turunnya moral manusia saat itu.