BincangMuslimah.Com- Dalam sejarah tafsir, nama Zulaikha sering kali diingat dengan bayangan negatif—istri raja yang tergoda dengan ketampanan Nabi Yusuf. Kisah ini kerap kali di ceritakan sebagai sebuah peringatan tentang bahayanya hawa nafsu dan pentingnya menjaga kehormatan. Namun di balik pembahasan narasi moral, terdapat lapisan makna yang jarang tersentuh, yakni perjalanan batin seorang perempuan dalam menuju kesadaran diri.
Ayat 51 Surah Yusuf adalah salah satu momen paling jujur dalam kisah manusia. Ketika raja mesir bertanya kepada perempuan tentang godaan terhadap Nabi Yusuf, mereka menjawab: “Mahasuci Allah, kami tidak mengetahui suatu keburukan pun padanya (Yusuf)”. Lalu Zulaikha—perempuan yang dulu penuh gengsi dan tipu daya—akhirnya berkata: “Sekarang jelaslah kebenaran itu. Akulah yang merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.”(QS. Yusuf [12]: 51)
Kalimat sederhana tersebut menyimpan letupan besar dalam batin manusia. Ia tidak hanya mengakui kesalahannya, melainkan membuat momen kesadaran, yakni titik balik antara ego dan kebenaran.
Zulaikha dan Kesadaran Diri
Seorang psikologis Swiss Carl Jung menyebutkan bahwa perjalanan semacam ini sebagai proses individuation, yakni perjalanan seseorang menuju diri sejati (true self). Proses ini tidak selalu indah. Bahkan dimulai dari konfrontasi dengan sisi gelap diri—bagian dari jiwa yang di sebut Carl Jung sebagai the shadow (bayangan). Bayangan ini berisi segala hal yang kita tolak: nafsu, rasa iri, ambisi, atau keinginan terlarang. Semakin manusia menolaknya, sisi itu akan semakin kuat dan menguasai perilaku. Hanya dengan menghadapinya—dengan jujur dan berani—seorang dapat tumbuh menjadi utuh.
Hal itulah yang Zulaikha alami, ia pernah dikuasai shadow-nya: nafsu, kekuasaan, dan gengsi sosial. Tetapi di ujung kisah, ia justru menjadi figur kesadaran bukan kehancuran. Ia tidak terjerumus ke dalam neraka moral, melainkan naik menuju nur al-haqiqah (cahaya kebenaran).
Imam al-Qusairi dalam tafsirnya Lathaaif al-Isyarah menyebutkan bahwa, apa yang di alami oleh Zulaikha merupakan proses spiritual sekaligus psikologis, dari konflik batin menuju keseimbangan, dari penyangkalan menuju penerimaan. Dalam istilah tasawuf—menurut Imam al-Qusairi—disebut tahawwul an-nafs, transformasi spiritual. Mulai dari nafs ammarah bis-su’ (jiwa yang tunduk pada dorongan rendah) menuju nafs lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan) sehingga pada puncaknya nafs mutmainnah (jiwa yang tenang).
Zulaikha pernah melewati ketiganya. Ia pernah menjadi simbol ammarah, yakni ketika rasa ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf yang berakhir dengan dituduhnya Nabi Yusuf atas kasus pelecehan seksual terhadapnya. Namun pengakuannya pada ayat ke-51 menunjukkan lahirnya lawwamah, penyesalan atas apa yang telah ia perbuat. Di sinilah Zulaikah melepas ego, gengsi dan status sosialnya demi kebenaran yang seharusnya terungkap. Setelah Zulaikha mengungkapkan kebenaran tersebut, lahirlah mutmainnah, yakni ketenangan yang ia rasakan dalam menyampaikan kejujuran.
Pesan Zulaikha Untuk Kita Semua
Dalam dunia modern yang serba pencitraan, kejujuran terhadap diri sendiri menjadi hal yang langka. Kita sering menyembunyikan sisi gelap, menutupinya dengan topeng kesalahan, status sosial atau keberhasilan karir. Carl Jung mengingatkan “Seseorang tidak akan tercerahkan hanya dengan membayangkan cahaya, tetapi dengan membuat bayangannya menjadi sadar.”
Zulaikha mengajarkan keberanian itu. Ia mengaku salah, bahkan di situlah ia menemukan diri sendiri. Ia seperti sosok yang lahir kembali, bukan sebagai perempuan yang kalah, tetapi sebagai perempuan yang utuh.
Kisah Zulaikha bukan tentang dosa perempuan, melainkan kisah tentang pemulihan jiwa manusia. Setiap dari kita punya sisi Zulaikha—bagian yang pernah di bawah kendali nafsu, gengsi atau kesalahan masa lalu. Namun ayat tentang pengakuan Zulaikha tersebut memberitahukan kita bahwa Allah selalu memberikan ruang bagi hambanya untuk selalu tumbuh dan kembali menemukan dirinya.
Dari penejalsan di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa kesadaran diri bukan lahir dari kesempurnaan, tetapi dari keberanian untuk menghadapi bayangan. Zulaikha dalam kesalahannya justru menjadi simbol pencerah. Ia menunjukkan bahwa jalan menuju kebenaran bermula dari pengakuan terhadap kegelapan diri. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Rekomendasi
