BincangMuslimah.Com -Bebribadah dengan ikhlas adalah perbuatan yang paling sulit. Sebab sikap ikhlas adalah sikap yang langsung menghubungkan antara hamba dengan Tuhan. Untuk mencapai ikhlas, kita perlu membenahi niat dalam berbuat kebaikan. Meski rasanya sulit dan jika menunggu ikhlas kita malah takkan berbuat apapun, proses menujunya harus terus diusahakan. Maka di sini kita harus mengetahui pentingnya ikhlas dan memperbaiki niat. Terlebih di era disrupsi saat semua informasi berpindah ke digital, setiap orang selalu membagikan aktivitasnya ke media sosial. Lalu, apakah memposting kebaikan disebut tidak ikhlas?
Konsep ikhlas dijelaskan oleh Allah dalam Alquran surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya: Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.
Dan juga dalam surat al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ
Artinya: Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.
Kedua ayat ini menjelaskan konsep niat yang berarti beribadah murni karena Allah, melaksanakan perintahnya sebagai hamba, sebuah bentuk ketaatan mutlak kepadaNya. Sebesar apapun atau sekecil apapun amal yang dilakukan bila tidak disertai keikhlasan, tetapi disertai rasa ingin mengharapkan perhatian manusia maka akan sia-sia, dan inilah yang disebut riya. Padahal riya’ adalah salah satu syirik kecil yang dibenci oleh Allah.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:(الشرك في هذه الأمة أخفى من دبيب النملة السوداء على صفاةٍ سوداء في ظلمة الليل) رواه الحكيم الترمذي وأحمد،وأبو يعلى بنحوه
Artinya: dari Ibnu Abbas R.A bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, “syirk (yang tersimpan dalam hati) umat ini lebih samar daripada semut hitam yang merayap di atas batu yang hitam di malam yang gelap.” (HR. Al-Hakim, At-Tirmzi, Ahmad, dan Abu Ya’la dengan lafaz yang serupa)
Hadis Rasulullah yang satu ini benar-benar menjadi pengingat bagi kita, bahwa sikap riya’ yang menjadi kebalikan dari ikhlas sangatlah samar. Seringkali kita melakukan apapun karena ingin dipuji atau dilihat oleh orang lain. Sehingga yang menjadi tujuan dari perbuatan baik kita adalah manusia, bukan Allah.
Terdapat pula sebuah hadis yang sangat populer yang diajarkan oleh setiap guru kepada muridnya tentang pentingnya niat. Hadis ini berbunyi:
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيّ النَّيْسَابُوْرِيّ، فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ اْلمُصَنَّفَةِ
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” (Diriwayatkan oleh dua Imamnya para ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi dalam dua kitab shahih mereka, yang keduanya merupakan kitab yang paling shahih diantara kitab-kitab yang ada.)
Hadis ini sangatlah populer. Hadis yang menerangkan tentang pentingnya niat adalah hadis yang diajarkan di setiap pesantren dan masuk dalam 40 hadis penting, Arba’in an-Nawawi. Bahkan para ulama banyak yang menulis hadis ini dalam setiap pembukaan karya-karyanya melihat betapa pentingnya niat. Tentu, niat mereka berkarya adalah dalam rangka menggapai ridha Allah. Menebarkan ilmu adalah salah satu wasilah mencapai ridhonya.
Dalam Al-Azkar karya Imam Nawawi, beliau mengutip perkataan Imam al-Harits al-Mahasibi Rahimullah yang mengatakan bahwa, seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang tidak peduli dengan apa yang keluar dari tanggapan manusia. Ia juga bukan orang yang suka akan pujian atau balasan kebaikan dari perbuatannya atau bahkan komentar negatif dari apa yang ia lakukan. Dirinya tak peduli dengan apa yang ada di luar dirinya berupa komentar manusia. Inilah manusia yang disebut dengan selesai dengan dirinya sendiri.
Sedangkan Imam Abi al-Qusyairi rahimahullah menyebutkan bahwa orang yang ikhlas adalah seseorang yang memurnikan Allah dalam ibadah dan ketaatannya. Ia menjadikan ketaatannya sebagai wasilah mendekat kepada Allah, bukan yang lain. Bukan karena hendak mendapat pujian manusia, cinta manusia, atau mendapat perhatian dari manusia.
Maka memperbaiki niat adalah langkah awal menuju rasa ikhlas, rasa memurnikan Allah dalam setiap ibadah, setiap berbuat baik. Tentu memperbaiki niat adalah hal yang paling utama. Mari periksa niat kita terlebih dahulu, apakah sudah betul-betul karena Allah atau hanya mencari pujian dari manusia?
Terlebih, saat ini penggunaan media sosial begitu intens sehingga berpotensi untuk melakukan riya’. Tapi bukan berarti mempublikasikan kegiatan baik itu dilarang, Islam pun tidak sesulit itu. Silakan lakukan asal bertujuan untuk memberi teladan atau mengajak orang-orang untuk melakukan yang sama. Maka mempublikasikan kebaikan bukan berarti tidak ikhlas, semua yang mengetahui niat kita hanya Allah. Semoga kita senantiasa dimudahkan dalam berbuat Ikhlas, karena Allah. Wallahu a’lam bisshowab.